Rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah diterpa badai masalah yang sangat berat. Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, dituduh selingkuh. Ketika itu, orang-orang munafik menyebarkan hadīṡul ifki (berita bohong) secara masif.
Sehingga banyak orang yang ikut-ikutan memviralkan berita hoaks di tengah masyarakat Madinah. Salah satunya adalah Misthah bin Utsatsah. Padahal, Misthah adalah kerabat dekat yang sering dibantu oleh Abu Bakar ash-Shiddiq.
Tidak lama kemudian, wahyu turun membebaskan Aisyah dari tuduhan itu. Abu Bakar, merasa sangat bahagia karena putrinya dibela langsung oleh Allah.
Tapi, Abu Bakar masih merasa kecewa terhadap Misthah lantaran keterlibatannya dalam penyebaran berita dusta. Gegara itu, Abu Bakar pun berniat untuk memberhentikan bantuan kepada Misthah.
Maka Allah memberi teguran dengan halus kepada Abu Bakar,
وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Wa lā ya`tali ulul-faḍli minkum was-sa’ati ay yu`tū ulil-qurbā wal-masākīna wal-muhājirīna fī sabīlillāhi walya’fụ walyaṣfaḥụ, alā tuḥibbụna ay yagfirallāhu lakum, wallāhu gafụrur raḥīm
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)
Setidaknya ada dua faedah yang bisa kita ambil dari ayat di atas;
Pertama, memaafkan adalah perbuatan yang lebih mulia daripada memendam rasa kecewa.
Kedua,dengan memaafkan sesama, Allah akan mengampuni semua dosa-dosa kita.
Perintah Memaafkan Kesalahan Sesama dalam Al-Quran
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti pernah menyakiti atau disakiti oleh orang lain.
Baik itu disengaja atau tidak, kalimat yang kita ucapkan terkadang menyinggung perasaan orang lain.
Begitu pula sebaliknya, boleh jadi seseorang membuat kita merasa jengkel. Kata-kata yang diucapkan, serta tindak tanduk yang dilakukan, telah merusak kenyamanan hati kita.
Nah, dalam kondisi seperti ini, Islam mengajarkan umatnya agar menjadi pribadi yang pemaaf.
Perintah untuk memaafkan kesalahan orang lain banyak disebutkan dalam al-Quran. Salah satunya yang paling berkesan ada di surah al-A’raf: 199 yang berbunyi,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
Khużil-’afwa wa`mur bil-’urfi wa a’riḍ ‘anil-jāhilīn
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
Tinjauan bahasa perintah saling memaafkan dalam QS. al-A’raf: 199
Apa maksud ayat di atas?
Kata khuż atau ambillah bermakna memperoleh sesuatu untuk dimanfaatkan. Dalam kata ini, terkandung arti memilih dari sekian banyak pilihan.
Artinya, Allah memerintahkan manusia–melalui kata khuż–untuk memilih memaafkan kesalahan orang lain dibandingkan sikap-sikap lain yang mungkin dilakukan seperti membalas, marah, mengamuk, atau menyimpan dendam kesumat.
Kemudian, maaf yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah sekedar ucapan belaka, melainkan memaafkan dengan sepenuh hati.
Kata al-’afwu atau maaf diambil dari akar kata yang terdiri dari huruf ’ain, fa,dan waw. Akar ini memiliki dua kemungkinan makna, yakni meninggalkan sesuatu dan memintanya.
Dari sini, kita dapat memahami bahwa seseorang yang telah memaafkan kesalahan orang lain berarti ia benar-benar meninggalkan (menghapus) kesalahan tersebut. Tidak mengungkit-ungkitnya kembali.
Tafsir surah al-A’raf ayat 199
Sangat menarik pemaparan al-Biqa’i rahimahullah ketika mentadaburi potongan ayat khuż al-’afwa, yakni; ambillah apa yang telah Allah anugerahkan, tanpa bersusah payah menyulitkan diri.
Dengan kata lain surah al-A’raf ayat 199 memerintahkan kita untuk menganggap enteng kesalahan orang lain, tidak membesar-besarkannya, dan memaafkan dengan tulus bahkan sebelum orang yang bersangkutan meminta maaf.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya berkesimpulan bahwa ayat ini merangkum berbagai sikap terpuji dalam bersosialisasi di masyarakat; mulai dari berinteraksi dengan baik seperti memaafkan orang lain, tidak saling bertikai, hingga memerintahkan segala perbuatan baik dan mencegah berbagai tindakan keburukan (saling mengingatkan dalam ketakwaan).
Keutamaan Saling Memaafkan Kesalahan Sesama
Dalam kitab Mausu’ah min Akhlaqir-Rasul, Syaikh Mahmud al-Mishri berkata bahwa saling memaafkan adalah pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai antara sesama manusia, “Jika orang lain mencerca kita, sebaiknya kita membalasnya dengan memberi maaf dan perkataan yang baik.”
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
Wa jazā`u sayyi`atin sayyi`atum miṡluhā, fa man ‘afā wa aṣlaḥa fa ajruhụ ‘alallāh, innahụ lā yuḥibbuẓ-ẓālimīn
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Asy-Syura: 40)
Dari ayat di atas, dapat kita simpulkan bahwa memaafkan adalah ciri orang-orang shalih.
Demikianlah. Al-Quran memberi petunjuk meskipun seseorang telah sengaja menzalimi kita, menyakiti kita baik dengan perkataan atau perbuatan, tetap harus dibalas dengan kebaikan.
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ اِنَّ ذٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ
Wa laman ṣabara wa gafara inna żālika lamin ‘azmil-umụr
“Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” (QS. Asy-Syura: 43)
Maka dari itu, di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, marilah kita awali dengan niat memperbaiki diri. Dimulai dengan bertobat kepada Allah dan saling memaafkan kesalahan sesama. Karena salah satu ciri orang bertakwa adalah, dia yang mudah memaafkan.
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
Allażīna yunfiqụna fis-sarrā`i waḍ-ḍarrā`i wal-kāẓimīnal-gaiẓa wal-’āfīna ‘anin-nās, wallāhu yuḥibbul-muḥsinīn.
“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 134)
Inti dari memaafkan adalah memperbaiki hubungan. Dan ini menjadi pertanda keimanan. Nabi bersabda,
الْمُؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ، وَلَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Seorang mukmin itu mau menjalin hubungan baik dengan sesama. Tidak ada kebaikan bagi yang tidak mau memperbaiki hubungan. Dan sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Ausath no. 5783; HR. Al-Haitsami no. 13096. Al-Haitsami berkata: diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bazzar, rijal Ahmad adalah rijal yang shahih) Wallahu a’lam
Penulis: Muhammad Faishal Fadhli