Allah mencintai para hamba yang memelihara sifat zuhud.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu anhu, bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seraya berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ النَّاسُ
“Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu pekerjaan yang apabila aku mengerjakannya, maka Allah dan manusia akan mencintaiku.”
Rasul bersabda,
“Zuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah engkau terhadap apa-apa yang ada di manusia, niscaya mereka akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah No. 4102; HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir No. 5972)
Para sufi memahami zuhud sebagai sikap hati. Mereka tidak menjauhi harta secara keseluruhan. Akan tetapi, menyamakan ada atau tidak adanya harta.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallama adalah suri teladan dalam hal zuhud. Beliau makan daging, roti, dan madu. Beliau juga mencintai wanita, wangi-wangian, dan pakaian yang bagus. Maka, zuhud adalah mengambil yang baik dan halal, tanpa rasa sombong, tanpa sikap berlebih-lebihan. Berbeda dengan zuhudnya para rahib Nashrani: biarawan dan biarawati. Mengharamkan pernikahan tapi melakukan perzinahan. Zuhudnya mereka adalah sifat zuhud para pendusta. Demikianlah penjelasan dari al-Munawi. (Faydh al-Qadiir syarh al-Jami’ as-Saghir,Zainuddin al-Munawi, 4/72)
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi,
الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِي الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُونَ بِمَا فِي يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِي يَدَيْ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِي ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ
“Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud terhadap dunia adalah engkau lebih percaya pada apa-apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Dan pahala musibah yang menimpamu, membuatmu lebih suka seandainya ia terus menimpamu.” (HR. At-Tirmidzi No. 2340)
Zuhud merupakan maqam yang tinggi karena menjadi penyebab kecintaan Allah kepada seorang hamba. Oleh karena itu, al-Quran dan Hadits menganjurkannya, para shahabat mengamalkannya, dan para ulama menunjukkan kemuliaannya.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Hendaknya kamu bersikap zuhud. Sebab, zuhud bagi yang melakukannya, lebih baik daripada perhiasan yang dipakai oleh seorang yang rupawan.”
Pertama: Sadar Akan Hakikat Dunia
Menyadari sepenuh hati bahwa dunia hanyalah bayangan yang akan segera hilang dan khayalan yang palsu.
Orang yang meninggalkannya akan pergi ke alam baka. Bisa jadi dia akan memperoleh kebahagiaan, dan bisa jadi dia akan mendapat kesengsaraan. Pada saat itu, manusia akan melihat hasil dari perbuatannya.
Dahulu mereka lalai dari mengingat Allah akibat sibuk bermegah-megahan dan menumpuk kekayaan. Neraka yang menyala-nyala, akan terlihat jelas di depan mata kepala mereka. Pada saat itu, apa yang selama ini mereka ragukan, menjadi kenyataan.
Dan setiap kenikmatan duniawi yang dirasakan, kelak, akan dimintai pertanggungjawaban. Kekayaan yang dahulu dibangga-banggakan, akan diaudit satu per satu: didapat dari mana, dan dibelanjakan untuk apa. Inilah peringatan keras yang tercantum dalam surah At-Takatsur. Ditujukan kepada mereka yang menjadi budak dunia.
Kedua: Yakin Akan Negeri Akhirat
Meyakini bahwa akhirat adalah tempat abadi yang lebih agung dan akhir yang lebih baik.
Oleh karena itu, para pemuka sufi mengarahkan pengikut-pengikutnya untuk mengikuti jejak Rasulullah dan salafussaleh dalam berkorban dan berjihad melawan hawa nafsu. Perhiasan yang semu sama sekali tidak dapat menggiurkan mereka.
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا
al-mālu wal-banụna zīnatul-ḥayātid-dun-yā, wal-bāqiyātuṣ-ṣāliḥātu khairun ‘inda rabbika ṡawābaw wa khairun amalā
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46)
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۗ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللّٰهِ الْغَرُوْرُ
yā ayyuhan-nāsu inna wa’dallāhi ḥaqqun fa lā tagurrannakumul-ḥayātud-dun-yā, wa lā yagurrannakum billāhil-garụr.
“Wahai manusia! Sungguh, janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (QS. Fāthir: 5)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ
“Sesungguhnya dunia itu sangatlah indah dan hijau. Dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, supaya Dia melihat bagaimana kalian mempergunakannya. Maka berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita.” (HR. Muslim No. 2742)
Ketiga: Memperkuat Keimanan Terhadap Qadha’ dan Qadar
Sehingga betul-betul memahami bahwa zuhud bukanlah penghalang rezeki yang sudah Allah tetapkan. Dan usaha sekuat tenaga yang manusia kerahkan, tidak akan memberikan apa-apa yang tidak ditetapkan untuk mereka.
Sebagaimana sabda Rasul,
مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
“Apa yang ditakdirkan untukmu, pasti menimpamu. Dan apa yang tidak ditakdirkan untukmu, pasti luput darimu.” (HR. Abu Daud No. 4699; HR. Ibnu Majah No. 77; HR. Ahmad No. 21079)
Kuatkan keyakinan bahwa setiap yang berjalan di muka bumi ini, sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Wa mā min dābbatin fil-arḍi illā ‘alallāhi rizquhā wa ya’lamu mustaqarrahā wa mustauda’ahā, kullun fī kitābim mubīn. (QS. Hūd: 6)
Keempat: Mengamalkan Hakikat Zuhud Secara Bertahap
Maksudnya, praktik dan wujud sikap zuhud itu bertingkat-tingkat. Dibedakan sesuai kemampuan tiap-tiap individu.
Ibnu Ajibah dalam Mi’raj At-Tasyawwuf ilaa Haqa’iq At-Tashawwuf (30) berkata,
“Zuhud adalah kosongnya hati dari ketergantungan kepada selain Allah.”
Kemudian ia melanjutkan,
“Zuhud orang awam adalah meninggalkan apa yang lebih dari kebutuhan. Zuhud orang khawwash adalah meninggalkan apa-apa yang menyibukkan diri dari mendekat kepada Allah. Dan zuhud khawwash al-khawwash adalah menjauhi pandangan kepada selain Allah di setiap waktu.
Zuhud merupakan sebab untuk sampai kepada Allah, karena hati tidak akan sampai kepada-Nya apabila masih bergantung pada sesuatu selain yang dicintai Allah.”
Kelima: Ingatlah Perkataan dan Nasihat-nasihat Ahli Hikmah Tentang Sifat Zuhud
Di antaranya yang paling menyentuh adalah: orang yang mengejar dunia, pasti tak kan dapat. Kalaupun dapat, pasti sedikit. Kalaupun banyak, pasti tak kan puas. Kalau pun puas, pasti hanya sebentar. Tapi kalau yang dikejar adalah akhirat, sudah pasti dapat, sudah pasti banyak, puas, dan kekal abadi. Wallahu waliyut taufiq.
Penulis: Muhammad Faishal Fadhli