Pengantar
Surah Al-Ikhlas (الإخلاص) adalah surah ke-112 dalam Al-Qur’an. Surah ini terdiri dari 4 ayat dan termasuk dalam golongan surah Makkiyah, yaitu surah yang diturunkan di Makkah sebelum Hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Berikut adalah tafsir umum dari Surah Al-Ikhlas:
Surah Al-Ikhlas merupakan surah yang sangat singkat, tetapi memuat makna yang sangat mendalam dan fundamental dalam ajaran Islam. Surah ini dikenal sebagai surah tentang keesaan (tauhid) dan sifat-sifat Allah.
Ayat-ayat surah ini menyatakan dengan tegas keesaan Allah, menyatakan bahwa Allah itu Esa dan tidak ada sesuatu pun yang setara atau serupa dengan-Nya. Surah ini juga menegaskan beberapa sifat-sifat Allah yang maha sempurna, seperti ketidakberanakan-Nya dan ketiadaan-Nya. Oleh karena itu, Surah Al-Ikhlas menjadi inti dari konsep tauhid dalam Islam.
Surah ini sangat sering dibaca dalam shalat, terutama dalam rakaat terakhir shalat sunnah atau shalat witr. Banyak hadis dari Nabi Muhammad ﷺ yang menekankan keutamaan dan keberkahan membaca Surah Al-Ikhlas.
Tafsir surah ini memberikan pemahaman mendalam tentang konsep tauhid dalam Islam dan mengajarkan umat Islam untuk memahami dan mengakui keesaan mutlak Allah, tanpa campur aduk dengan unsur-unsur penyekutuan (syirk) atau kesamaan dengan makhluk-Nya.
Bacaan Surat
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤
Tafsir
- (Katakanlah, “Dialah Allah Yang Maha Esa”) lafal Allah adalah Khabar dari lafal Huwa, sedangkan lafal Ahadun adalah Badal dari lafal Allah, atau Khabar kedua dari lafal Huwa.
- (Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu) lafal ayat ini terdiri dari Mubtada dan Khabar; artinya Dia adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu untuk selama-lamanya.
- (Dia tiada beranak) karena tiada yang menyamai-Nya (dan tiada pula diperanakkan) karena mustahil hal ini terjadi bagi-Nya.
- (Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia) atau yang sebanding dengan-Nya, lafal Lahu berta’alluq kepada lafal Kufuwan. Lafal Lahu ini didahulukan karena dialah yang menjadi subjek penafian; kemudian lafal Ahadun diakhirkan letaknya padahal ia sebagai isim dari lafal Yakun, sedangkan Khabar yang seharusnya berada di akhir mendahuluinya; demikian itu karena demi menjaga Fashilah atau kesamaan bunyi pada akhir ayat