Home » Halaqah 143: Dalil-dalil yang Menunjukkan bahwa Amalan termasuk dari Iman

Halaqah 143: Dalil-dalil yang Menunjukkan bahwa Amalan termasuk dari Iman

Halaqah yang ke-143 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Dalil-dalil tentang bahwasanya amalan ini termasuk iman ini banyak, dari Al-Qur’an misalnya Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ
[Al-Baqarah:143]
Dan tidaklah Allah subhanahu wata’ala meninggalkan atau menyia-nyiakan iman kalian, dan iman yang dimaksud disini adalah ash-shalah karena ayat ini berkaitan dengan orang-orang yang beriman dimasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu para sahabat yang ketika pindah arah kiblat dari Baitul Maqdis ke arah Makkah kemudian sebagian sahabat memikirkan saudaranya yang sudah meninggal dunia sementara dahulu mereka shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis, mereka bersedih bagaimana dengan saudara-saudara kami yang sudah meninggal dunia sementara saat itu kiblat masih ke arah Baitul Maqdis, maka Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ
Allah subhanahu wata’ala tidak menyia-nyiakan keimanan kalian (shalat kalian), yaitu shalat kalian menghadap Baitul Maqdis tidak disia-siakan oleh Allah subhanahu wata’ala karena mereka menghadap ke Baitul Maqdis saat itu dengan perintah Allah subhanahu wata’ala maka Allah subhanahu wata’ala memberikan pahala kepada mereka, meskipun setelahnya ada perintah Allah subhanahu wata’ala yang lain yang menaskh (menghapuskan) hukum sebelumnya yaitu menghadap kearah Baitullah (Makkah), tetapi yang pertama oleh Allah subhanahu wata’ala tidak akan sia-siakan karena mereka melakukan itu berdasarkan iman menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala. Di sini Allah subhanahu wata’ala menamakan shalat dengan iman, berarti amalan itu termasuk iman.
Kemudian juga di dalam hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang cabang-cabang keimanan
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً
Iman itu adalah 70 cabang lebih
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
yang paling tinggi adalah ucapan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ, (qaulu al-lisan)
وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ
dan yang paling bawah di antara cabang-cabang tadi adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, (‘amalu al-jawarih)
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
dan rasa malu itu adalah bagian dari keimanan, (‘amalu al-qalb)
Berarti di sini ada ‘amalu al-qalb dan ‘amalu al-jawarih disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits ini menunjukkan bahwasanya amal itu adalah termasuk bagian dari iman.
Mereka mengatakan mengapa Allah subhanahu wata’ala di dalam Al-Qur’an menyebutkan iman dan menyebutkan amal shaleh secara tersendiri, Allah subhanahu wata’ala mengatakan misalnya dalam surah Al-Ashr
وَٱلۡعَصۡرِ ١
إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
ini termasuk istidlal mereka dan diantara syubhat mereka, yaitu kenapa Allah subhanahu wata’ala memisahkan antara iman dengan amal shaleh di dalam Al-Qur’an
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, berarti amal shaleh ini lain dengan iman, dan و kata mereka asalnya adalah menunjukkan perbedaan antara sebelum و dengan setelah و.
Para ulama menjelaskan bahwasanya yang ada di sini bukan menunjukkan bahwasanya amal bukan termasuk iman, tapi di sendirikan amalan padahal dia termasuk bagian dari iman karena Allah subhanahu wata’ala ingin memberikan penekanan bahwasanya amalan itu adalah termasuk iman, jadi ketika disebutkan
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
masuk di dalamnya qaulun wa amalun wa i’tiqad, ketika Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
maka ini adalah menunjukkan penekanan, jadi ini dari bab pengathofan sesuatu yang khusus kepada sesuatu yang umum dan diantara faedahnya demikian adalah untuk menunjukkan penguatan penekanan bahwasanya amalan ini adalah termasuk iman, jadi ini justru membantah mereka ini menunjukkan dan menekankan bahwasanya amalan ini adalah termasuk iman.
Kemudian juga mereka mengatakan kalau iman secara bahasa tasdiq, kita katakan yang pertama para ulama menjelaskan, dan ini yang dikatakan oleh sebagian ulama ahlussunnah wal jama’ah diantaranya adalah Syaikhul Islam dan kalau yang ada di zaman kita adalah Syaikh Utsaimin rahimahullah dan dinukil oleh para ulama, bahwasanya yang lebih tepat dari makna iman secara bahasa adalah al-iqrar (mengikrarkan), jadi disana ada tasdiq dan disana ada iqrar.
Memang ada kalau kita membuka kitab-kitab lugha qamus maka mereka akan mengatakan iman adalah tasdiq itu tidak kita ingkari tapi ada di sana iman maknanya adalah iqrar, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwasanya mendefinisikan atau memaknai iman dengan iqrar ini lebih tepat, dari sisi yang pertama karena di dalam bahasa arab sebuah kata itu memiliki makna kata yang lain yaitu alat taadinya itu biasanya sama, kalau ini misalnya adalah mutaadinya secara langsung maka yang disini juga secara langsung kalau ini dengan ba makanya dengan ba.
Contoh misalnya didalam hal ini iman mana yang lebih pas tasdiq atau al-iqrar, kalau tasdiq itu langsung misalnya seseorang mengatakan ana ushaddiquka (aku membenarkan kamu) ini langsung tidak memakai bi (ushaddiqu bika) tetapi kalau iman dengan ba (amantu billah pakai ba), kalau tasdiq langsung tapi kalau iqrar misalnya aqrartu laka uqirru laka (aku membenarkan), oleh karena itu sebagian ulama mengatakan ini menunjukkan bahwasanya ikrar ini lebih dekat maknanya daripada tasdiq karena secara penggunaan bahasa dia lebih dekat dengan keimanan bukan dengan tasdiq dan ini juga disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah.
Kemudian yang kedua yang namanya iman itu tidak digunakan dalam setiap kabar, iman itu hanya digunakan pada kabar-kabar yang ghaib adapun tasdiq bisa digunakan untuk kabar-kabar yang terlihat bukan perkara yang ghaib umum, misalnya ada orang mengatakan ini adalah laptop di depan kita dan kita melihatnya kita katakan ushaddiquka (aku membenarkan kamu) dan bisa juga digunakan untuk perkara yang ghaib tapi untuk iman ini hanya digunakan untuk perkara yang ghaib saja amantu bika (aku beriman denganmu) yaitu beriman dengan sesuatu yang ghaib, misalnya al-imanu billah beriman dengan Allah subhanahu wata’ala yang kita tidak melihatnya beriman dengan malaikat beriman dengan Rasul yang kita tidak pernah melihatnya beriman dengan hari akhir.
Kemudian diantara yang menguatkan Al-Iman itu lawannya adalah al-kufr sementara tasdiq itu lawannya adalah at-takzhib, berarti disana ada perbedaan. Kemudian juga yang namanya iman ada ziyadatul tumakninah iman itu ada rasa tenang ketika dia membenarkan, jadi dia adalah tasdiqun wa ziyadah membenarkan dan disana ada tambahannya yaitu merasa tenang merasa aman karena al-iman adalah berasal dari kata al-amn dan ini ada pada iqrar, iqrar itu adalah mengikrarkan dan dia ada rasa tenang, itu yang pertama yaitu kita mengatakan lafadz yang lebih tepat adalah lafadz iqrar bukan lafadz tasdiq.
Seandainya makna al-iman secara bahasa adalah tasdiq kita katakan bahwasanya secara bahasa memang demikian tapi secara syariat lebih luas daripada hanya sekedar tasdiq, contoh misalnya shalat artinya adalah berdoa tetapi secara syariat shalat tidak hanya berdoa, tahrimuha takbir wa tahliluha taslim (yang mengharamkan adalah takbir yaitu takbiratul ihram dan yang menghalalkan adalah mengucapkan salam), berarti ada salam ada takbir bukan hanya doa saja ada ruku’ ada sujud ada i’tidal. Zakat artinya adalah suci atau berkembang tapi membayar zakat bukan hanya sekedar makna secara bahasa saja, ini adalah amalan yang khusus ada zakat harta dan zakat fitrah.
Jadi jangan kita berpegang dengan makna bahasa saja kemudian kita mengamalkan dari sisi bahasa saja, tapi kita harus melihat definisi secara syariat apa yang dimaksud dengan iman, dan kalau kita melihat dan kita mengumpulkan dalil-dalil ternyata iman bukan hanya tasdiq saja disana ada amalul lisan ada amalul qalb ada amalu al-jawarih, maka kita mengambil makna syar’i dari dalil-dalil yang ada, jangan kita berpegang dengan definisi secara bahasa karena kalau berpegang dengan definisi secara bahasa saja maka ini adalah kesesatan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top