Home » Halaqah 164: Aqidah Ahlu Sunah terhadap Perselisihan yang Terjadi di antara Para Sahabat (Bagian 2)

Halaqah 164: Aqidah Ahlu Sunah terhadap Perselisihan yang Terjadi di antara Para Sahabat (Bagian 2)

Halaqah yang ke-164 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Bagaimana aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah terhadap perselisihan yang terjadi di antara para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengatakan
وَمَنْهَا مَا قَدْ زِيدَ فِيهِ وَنُقِصَ
Dan diantara riwayat-riwayat tersebut ada yang sudah ditambah-tambah, asalnya dia adalah riwayat yang memang terjadi kejadiannya benar-benar terjadi cuma oleh sebagian orang ditambah-tambah, ditambah sesuatu yang sebenarnya tidak ada di dalam riwayat tersebut sehingga dipahami oleh orang dengan pemahaman yang tidak benar, atau sebaliknya dikurang-kurangi sebenarnya dia ada dalam riwayat tadi yang menunjukkan tentang keutamaan dan menunjukkan tentang udzurnya misalnya tapi dihilangkan dan dikurangi sehingga kelihatannya ini menunjukkan bahwasanya sahabat tadi adalah orang yang jelek orang yang melakukan dosa besar orang yang punya niat buruk dan seterusnya karena dikurangi dan dirubah lafadznya dihilangkan sebagian lafadznya.
Ini kita harus hati-hati, sebagian orang tidak takut kepada Allah subhanahu wata’ala ingin menimbulkan fitnah diantara manusia sehingga menambah riwayat atau mengurangi riwayat yang ada
وَغُيِّرَ عَنْ وَجْهِهِ
dan diubah dari arahnya yang benar, dari aslinya sehingga akhirnya keyakinan orang yang membacanya menjadi lain yang seharusnya dia memiliki aqidah yang benar terhadap para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum akhirnya karena dia membaca riwayat yang sudah ditambah dan dikurangi akhirnya menjadikan mereka su’udzan terhadap para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum.
Ini hati-hati ada di sebagian riwayat-riwayat tersebut yang demikian keadaannya, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengucapkan ucapan ini berdasarkan membaca secara keseluruhan dan dari pengalaman beliau melihat bahwasanya banyak riwayat tersebut yang dusta dan ada diantaranya yang ditambah dan dikurangi
وَالصَّحِيحُ مِنْهُ
dan seluruh yang shahih diantara riwayat-riwayat tersebut, shahih terjadi dan sepertinya disitu terjadi kesalahan dari seorang sahabat atau kekeliruan dari seorang sahabat yang shahih dan itu adalah jelas secara riwayat bahwasanya dia adalah memang terjadi dan tidak ada pengurangan tidak ada penambahan
هُمْ فِيهِ مَعْذُورُونَ
mereka mendapatkan udzur di dalam kekeliruan mereka tadi, jadi seandainya itu adalah riwayat yang shahih mungkin dalam Shahih Bukhari atau di dalam Shahih Muslim atau di dalam buku yang lain dan dia adalah dengan sanad yang shahih terjadi memang dilakukan oleh sahabat tadi maka mereka mendapatkan udzur di dalam apa yang mereka lakukan, mungkin karena tidak tahu belum sampai kepadanya hadits atau baliau mentakwil salah memahami, bukan dengan sengaja melakukan kesalahan tadi tapi beliau salah di dalam memahami dan itu biasa, mereka manusia seperti kita tidak sempurna segala-galanya, ada di antara perkara yang mungkin kurang mereka pahami dan itu bukan aib bagi mereka, mereka mendapatkan udzur
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah subhanahu wata’ala tidak memberikan beban kecuali sesuai dengan kemampuannya
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا
Wahai Rabb kami janganlah Engkau adzab kami kalau kami lupa atau kami bersalah.
Jadi seluruh yang sahih misalnya di sana ada riwayat yang menunjukkan tentang kejelekan seorang sahabat dan itu adalah riwayat yang shahih maka mereka mendapatkan udzur di dalam apa yang mereka lakukan itu keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, bahwasanya apa yang dilakukan oleh seorang sahabat itu adalah kekeliruan kesalahan dan riwayatnya shahih maka mereka itu ma’dzur.
إِمَّا مُجْتَهِدُونَ مُصِيبُونَ، وَإِمَّا مُجْتَهِدُونَ مُخْطِئُونَ
Ada dua kemungkinan di dalam perkara-perkara tersebut perseteruan diantara para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum, kemungkinan yang pertama mereka adalah para mujtahid (orang yang berilmu yang mereka berijtihad dengan ilmu yang mereka miliki untuk menentukan dan untuk mengambil sebuah keputusan) yang mereka benar di dalam ijtihadnya, mereka bersungguh-sungguh dengan ilmu yang mereka miliki yang mereka dapatkan berijtihad untuk menentukan sebuah sikap di dalam sebuah perkara berdasarkan dalil kemudian mereka benar, dalam keadaan seperti ini mereka mendapatkan dua pahala.
وَإِمَّا مُجْتَهِدُونَ مُخْطِئُونَ
Atau kemungkinan yang kedua mereka melakukan ijtihad dan mereka salah dalam ijtihad tidak sesuai dengan kebenaran, mereka sudah berusaha dengan ilmu yang mereka miliki ternyata mereka salah, ketika mereka salah apakah mereka mendapatkan dosa jawabannya tidak, mereka mendapatkan pahala yaitu pahala ijtihad mereka pahala bersungguh-sungguh dalam menentukan sebuah fatwa atau sebuah keputusan berdasarkan dalil, kalau benar mereka mendapatkan dua pahala dan kalau salah mereka mendapatkan satu pahala seperti yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران، وإن اجتهد الحاكم فأخطأ فله أجر
Apabila seorang hakim (seorang yang berilmu) dia berijtihad kemudian benar maka dia mendapatkan dua pahala, yaitu pahala berijtihad dan juga pahala benarnya dia, usahanya bersungguh-sungguh ini diberikan pahala oleh Allah subhanahu wata’ala dan ketika dia benar maka ini juga diberikan pahala oleh Allah subhanahu wata’ala, adapun yang salah maka dia mendapatkan pahala berijtihad pahala bersungguh-sungguh dalam menentukan sebuah fatwa tapi mereka tidak mendapatkan pahala benarnya karena mereka ternyata salah di dalam ijtihad mereka.
Jadi para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum mereka adalah orang yang paling berhak untuk menyandang gelar mujtahid, merekalah orang yang berilmu merekalah yang melihat Al-Qur’an turun melihat hadits diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mereka yang paling paham tentang bahasa Arab, kalau di sana ada mujtahid maka merekalah yang berhak untuk menyandang derajat sebagai seorang mujtahid.
Jadi mereka antara dua keadaan ini, mungkin mereka mujtahid yang benar dan mungkin mereka adalah mujtahid yang salah dan dua-duanya mendapatkan pahala, bagaimana kita mencela orang-orang yang salah di antara mereka, dia mendapatkan pahala karena dia sudah sampai derajat mujtahid meskipun mereka salah tapi mereka mendapatkan pahala, dan ini keyakinan kita sebagai seorang Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Dan apa yang terjadi antara Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhu dan juga Muawiyah maka sebagian ulama ada yang mengatakan bahwasanya yang ‘alal haq di dalam masalah ini adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhu, adapun sahabat yang mulia yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan beliau mujtahid dalam masalah ini tapi beliau tidak mendapatkan kebenaran beliau, mendapatkan pahala atas ijtihad beliau dan Ali radhiyallahu ta’ala ‘anhu mendapatkan pahala dan sebagaimana Firman Allah subhanahu wata’ala
وَكُلّٗا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ
masing-masing dari mereka Allah subhanahu wata’ala janjikan dengan kebaikan
لَا يَسۡتَوِي مِنكُم مَّنۡ أَنفَقَ مِن قَبۡلِ ٱلۡفَتۡحِ وَقَٰتَلَۚ أُوْلَٰٓئِكَ أَعۡظَمُ دَرَجَةٗ مِّنَ ٱلَّذِينَ أَنفَقُواْ مِنۢ بَعۡدُ وَقَٰتَلُواْۚ وَكُلّٗا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ
[Al-Hadid:10]
Bagaimana setelah ini masih ada sebagian orang yang mereka menyimpan ghil dan perasaan yang tidak baik terhadap para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka adalah mujtahidun yang dijanjikan dengan pahala.
Dan kalau kita memperhatikan tarikh ketika terjadi peperangan di antara para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu ternyata sikap para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu yang masih hidup saat itu tidak seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang, sebagian besar mereka tawaquf dan tidak berpihak kepada sahabat Ali radhiyallahu ta’ala ‘anhu maupun Muawiyah Bin Abi Sufyan radhiyallahu ta’ala anhuma jami’a. Mereka menahan diri tidak berpihak kepada Ali maupun Muawiyah ibn Abi Sufyan, sebagian yang lain berpihak kepada Ali dan sebagian yang lain berpihak kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan berdasarkan ilmu yang sampai kepada mereka.
Jadi masing-masing baik yang berpihak yang ikut perang maupun yang menahan diri itu masing-masing melakukan itu semuanya berdasarkan ilmu, yang berpihak kepada Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhu berpandangan sama dengan Ali dan menganggap bahwasanya Ali inilah yang berhak untuk dibela sementara yang lain memandang bahwasanya kebenaran ada di pihak Muawiyah ibn Abi Sufyan dan masing-masing melakukan itu semuanya berdasarkan ilmu bukan berdasarkan hawa nafsu.
Disebutkan bahwasanya yang ikut berperang saat itu ada yang mengatakan hanya sekitar 30 orang sahabat dari 10.000 orang sahabat yang saat itu masih hidup, bayangkan dari 10.000 orang sahabat yang ikut berperang saat itu hanya 30 orang saja, yang lainnya mereka tawaquf dan tidak berpihak kepada salah satu diantara dua belah pihak dan masing-masing mereka melakukan itu dengan ilmu.
Sekali lagi masing-masing dari mereka baik yang ikut berperang maupun yang tidak itu berdasarkan ilmu yang sampai kepada mereka, mereka semuanya berijtihad bersungguh-sungguh untuk mengikuti kebenaran sesuai dengan kemampuan mereka.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top