Home » Halaqah 34: Penjelasan Beberapa Ayat yang Mengandung Sifat Mahabbah Bagi Allah (Bagian 1) (QS Al-Baqarah 195)

Halaqah 34: Penjelasan Beberapa Ayat yang Mengandung Sifat Mahabbah Bagi Allah (Bagian 1) (QS Al-Baqarah 195)

Halaqah yang ke-34 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqdah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Masuk kita pada pembahasan yang baru berkaitan dengan nama dan juga sifat Allah subhanahu wata’ala yaitu sifat Al-Mahabbah yaitu sifat mencintai bagi Allah subhanahu wata’ala. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mendatangkan setelahnya dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menunjukkan bahwasanya diantara sifat Allah subhanahu wata’ala yang harus kita tetapkan bagi Allah subhanahu wata’ala sebagaimana Allah subhanahu wata’ala kabarkan adalah sifat Al-Mahabbah yaitu mencintai dan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala memiliki sifat mencintai dan sifat mencintai adalah termasuk sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan Masyiatullah.
Sifat terbagi menjadi dua ada sifat dzatiyyahh dan juga sifat fi’liyah, sifat dzatiyyah adalah sifat yang senantiasa ada pada diri Allah subhanahu wata’ala dan tidak berkaitan dengan Masyiatullah, Allah subhanahu wata’ala Dia-lah Yang Maha Mengetahui maka ini termasuk sifat dzatiyyah, Allah subhanahu wata’ala memiliki sifat ‘ulu (sifat Tinggi) maka ini adalah sifat dzatiyyah, Allah subhanahu wata’ala memiliki nama Ar-Rahman dan memiliki sifat Rahmah yang terkandung dalam Ar-Rahman maka ini adalah sifat dzatiyyahh, tidak berkaitan dengan Masyiatullah sehingga itu senantiasa ada pada diri Allah subhanahu wata’ala.
Berbeda dengan sifat fi’liyyah, ini berkaitan dengan Masyiatullah subhanahu wata’ala, kalau Allah subhanahu wata’ala menghendaki maka Allah subhanahu wata’ala bersifat dengan sifat tadi dan kalau Allah subhanahu wata’ala menghendaki maka Allah subhanahu wata’ala tidak bersifat dengan sifat tadi. Berarti berkaitan dengan Masyiatullah seperti contohnya Al-Mahabbah, Allah subhanahu wata’ala menghendaki untuk mencintai seseorang atau mencintai sebuah amalan atau sebuah sifat, ini berkaitan dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala, maka Al-Mahabbah ini termasuk sifat fi’liyyah berkaitan dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala. Sifat istiwa termasuk sifat fi’liyyah karena dia berkaitan dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala yaitu Allah subhanahu wata’ala beristiwa dan Dia-lah yang menghendaki dirinya untuk beristiwa.
Allah subhanahu wata’ala menyebutkan, terkadang mengabarkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mencintai sebagian orang sebagaimana dalam ayat-ayat yang disebutkan oleh Syaikh di sini, Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang Muhsinin, Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang berjihad dijalan-Nya, Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang bertakwa, dan terkadang dikabarkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mencintai sebuah akhlak atau sebuah sifat misalnya, sebagaimana dalam sebuah hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
إِنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ
Sesungguhnya engkau memiliki dua sifat خَصْلَة)) yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala, yaitu الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ sifat al-hilm (tidak mudah marah) wal anah, dan engkau memiliki sifat hati-hati, tidak tergesa-gesa, menunjukkan bahwasanya terkadang Allah subhanahu wata’ala mencintai sebuah sifat dan terkadang sebagaimana dalam ayat-ayat yang disebutkan oleh Syaikhul Islam di sini mencintai orang-orangnya.
Jadi Allah subhanahu wata’ala mencintai amalannya, mencintai orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang melakukan ihsan, kemudian kita sebagai seorang hamba di antara keinginan kita yang besar adalah bagaimana Allah subhanahu wata’ala Robb yang kita sembah ini mencinta kita, bagaimana Allah subhanahu wata’ala yang kita sembah, yang kita minta, yang kita kerahkan hidup kita ini adalah untuk-Nya, bagaimana Allah subhanahu wata’ala mencintai kita, karena ini adalah nikmat yang besar, seorang hamba dicintai oleh Robbnya.
Kita dalam kehidupan sehari-hari seandainya seorang yang membantu orang lain atau bekerja di tempat orang lain dan dia merasakan bahwasanya tempat dia bekerja tadi pemiliknya, majikannya mencintai dia, senang kepada orang tersebut maka ini adalah sebuah kehormatan tersendiri. Ada sebagian orang mungkin bekerja sama orang lain tapi majikan tidak suka, tidak suka sama orang tersebut, terlihat dari ucapannya, terlihat dari perilakunya, terlihat dari wajahnya, ini dalam perkara dunia kita ingin orang yang kita khidmah dia, kita membantu dia dengan senang hati dia juga mencintai kita. Intinya mencintai atau dicintai oleh orang lain, disenangi oleh orang lain maka ini adalah kenikmatan tersendiri.
Antum menjadi orang yang dicintai oleh istri Antum atau dicintai oleh suami atau dicintai oleh orang tua, dicintai oleh anak-anak maka ini adalah kenikmatan tersendiri. Dibenci oleh anak, dibenci oleh istri, dibenci oleh suami maka ini sesuatu yang menyedihkan, sesuatu yang menjadikan kita tidak enak, dicintai oleh masyarakat, dicintai oleh tetangga, dicintai oleh lingkungan, kenikmatan. Tapi dibenci oleh mereka, dikucilkan oleh mereka merupakan sebuah kesempitan, sebuah kesengsaraan.
Masing-masing dari kita ingin dan senang apabila dicintai, maka seorang muslim yang menjadi puncak dia adalah bagaimana dia dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala, ketika dia mendapatkan Mahabbatullah, mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wata’ala maka dia akan sangat-sangat berbahagia, sangat gembira ketika Allah subhanahu wata’ala mencintai dia. Meskipun ada makhluk diantara makhluk-mahluk Allah subhanahu wata’ala yang benci kepadanya tapi itu bukan tujuan dia yang penting adalah, yang paling utama di sisinya adalah dia dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala.
Maka seorang muslim berusaha melakukan perkara, memiliki sifat yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala, dia cari apa yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala sehingga dia amalkan amalan-amalan tersebut, siapa orang-orang yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala sehingga dia berusaha untuk menjadi bagian dari orang-orang tersebut, apa sifat dan juga akhlak yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala sehingga dia berusaha untuk memiliki sifat tersebut, terus dia mencari bagaimana agar dia termasuk orang yang dicintai Allah subhanahu wata’ala, berusaha untuk melakukan, mengucapkan, bersifat dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala, amalan-amalan yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala, itulah keinginan dia dan itulah yang dia pikirkan dalam kehidupannya, bagaimana Allah subhanahu wata’ala Ridha kepadanya, bagaimana Allah subhanahu wata’ala mencintai dirinya.
Ayat-ayat yang akan disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah di antara ayat-ayat yang menunjukkan siapa-siapa orang yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala dan tentunya ini menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala memiliki sifat Mahabbah.
وَقَوْلُهُ
Dan juga firman Allah subhanahu wata’ala
وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan hendaklah kalian berbuat Ihsan sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang Ihsan.
Ihsan di sini bisa memiliki dua makna dan dua-duanya benar, Ihsan dalam artian berbuat baik kepada orang lain baik dengan harta atau dengan ucapan yaitu dengan memberikan nasehat kepadanya misalnya, atau dakwah karena dakwah ini juga termasuk berbuat baik kepada orang lain, memberikan pengajaran, atau kita membantu orang lain dengan tenaga kita, bisa juga berbuat baik kepada orang lain dengan syafa’at yaitu kita memiliki kedudukan kemudian kita membantu dia dengan kedudukan kita, itu makna yang pertama.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang berbuat baik, menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala memiliki sifat mencintai dan diantara yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala adalah orang-orang yang Muhsinin, orang-orang yang suka membantu orang lain, membantu dalam hal apa saja dan tidak harus perkara yang besar. Antum membantu orang lain sesuai dengan kemampuan antum, maka di antara cara supaya kita dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala hendaklah kita masuk dalam jajaran orang-orang yang suka membantu orang lain, berbuat baik kepada orang lain. Kalau kita memiliki harta lebih maka kita membantu orang yang miskin, orang yang fakir meskipun tidak seberapa, cukup untuk makan dia sekali dua kali misalnya, Allah subhanahu wata’ala cinta dengan orang-orang yang suka berbuat baik kepada orang lain. Atau membantu keluarga dirumah, membantu anak di dalam memahami atau kita membantu dengan tenaga, maka semuanya itu adalah termasuk cara-cara berbuat Ihsan kepada orang lain, jangan kita menjadi orang yang berat untuk membantu orang lain, kita membantu supaya kita dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala dan dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Dan Allah subhanahu wata’ala menolong seorang hamba selama hamba tersebut masih mau menolong saudaranya. Ini makna yang pertama.
Makna yang kedua, Al-ihsanu berarti Al-Itqan yaitu berusaha untuk sempurna didalam melakukan amalan yaitu melakukan amal shaleh, sempurna di dalam melakukan amal shaleh, sempurna dari sisi bathin maupun dari sisi dzhohir, dari sisi bathin adalah dia berusaha untuk ikhlas, merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala di dalam amalannya, sehingga dia tidak berpaling kepada manusia tapi beramal lillah. Kemudian sempurna dari sisi dzhohirnya yaitu sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
وَأَحْسِنُوَاْ
Hendaklah kalian sempurnakan dan kokohkan amalan kalian, yaitu ikhlaskanlah amalan tersebut karena Allah subhanahu wata’ala dan dzhohirnya sesuaikan dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang apa itu ihsan
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Engkau menyembah kepada Allah subhanahu wata’ala seakan-akan engkau melihat-Nya dan kalau engkau tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.
Orang yang merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala maka dia akan memperbaiki bathinnya dan juga memperbaiki dzhohirnya, orang yang memiliki sifat demikian dalam beramal
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang ihsan, yaitu orang yang berusaha ikhlas di dalam amalannya, tidak riya, tidak sum’ah dan dia berusaha untuk sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalatnya, dalam wudhunya, dalam pakaian, dalam cara tidurnya, Allah subhanahu wata’ala cinta dengan orang-orang yang demikian. Berarti kita berusaha untuk termasuk orang-orang yang muhsinin dalam artian dia berusaha memperbaiki dan menyempurnakan amalan, jangan kita asal-asalan dalam beramal, shalat asal-asalan, wudhu asal-asalan, berpakaian asal-asalan, tidur asal-asalan, kita berusaha untuk ihsan, merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala, memperbaiki bathin kita dan niat kita dan juga memperbaiki dzhohir kita, terus kita berusaha bagaimana sesuai amalan kita dengan sunnah.
Mungkin antum sudah belajar tata cara wudhu, tata cara shalat, tapi seseorang terkadang lalai, terkadang lupa, ada perkara-perkara yang sebenarnya sudah antum pelajari tapi karena tidak diamalkan akhirnya antum lupa bahkan seakan-akan baru tahu sekarang itu adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Antum baca kembali tentang apa yang disunahkan dalam shalat, apa yang disunahkan dalam wudhu kemudian Antum praktekan sehingga semakin ke sana, semakin tua semakin baik amalan kita semakin sempurna amalan kita, ini satu diantara cara untuk mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wata’ala.
Sehingga kita berdakwah kepada Tauhid supaya manusia mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wata’ala, kita mengajak manusia kepada sunnah supaya manusia mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wata’ala, karena Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang muhsinin, orang-orang yang memperbaiki amalannya baik amalan yang dzhohir maupun amalan yang bathin, bagaimana manusia ini dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala dengan Ihsan nya.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top