Halaqah yang ke-13 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqīdah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Beliau mengatakan
بَلْ يُؤْمِنُونَ بِأَنَّ اللهَ
Bahkan mereka beriman bahwasanya Allah subhanahu wata’ala
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Mereka beriman dan percaya bahwasanya Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang لَيْسَ كَمِثْلِهِ. Beliau mendatangkan firman Allah subhanahu wata’ala yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan dalam surat Asy-Syūra ayat yang ke-11. Meskipun ini adalah ayat yang ringkas namun ternyata di dalamnya mengandung kaidah yang besar yang di atasnya ahlussunnah wal jamaah berjalan di dalam masalah nama dan juga sifat Allah subhanahu wata’ala. Kaidah yang tadi disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah yang terkandung di dalam firman Allah subhanahu wata’ala ini
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala sesuatu apapun. شَيْءٌ ini adalah nakirah, tidak ada al-nya disini, لَيْسَ disini adalah nafyun (pengingkaran, penafian), nakirah dan dia adalah nafyi maka dia adalah umum, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala. Seseorang berusaha membayangkan, mencari apapun dan sampai kapanpun tidak ada sesuatu yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala. Berarti di sini tidak boleh seseorang mentakyif dan mentamtsil, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala. Kemudian
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Dan Dia-lah Allah subhanahu wata’ala yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Disini ada isbat, menetapkan yaitu menetapkan nama Allah subhanahu wata’ala As-Samī’ Al-Bashīr yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Kenapa Allah subhanahu wata’ala di sini mendatangkan dua nama As-Samī’ Al-Bashīr, Allahu A’lam, ada sebagian yang mengatakan karena sebagian besar makhluk mereka memiliki sifat ini, jadi makhluk hidup mereka mendengar dan juga mereka melihat.
Allah subhanahu wata’ala memiliki sifat As-Sama’ wa Al-Bashar, memiliki sifat pendengaran dan juga penglihatan dan kalimat sebelumnya tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala. Berarti ketika seseorang menetapkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala Maha Mendengar (memiliki pendengaran) dan dia Maha Melihat (memiliki penglihatan) bukan berarti kita menyamakan Allah subhanahu wata’ala dengan makhluk
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala sedikitpun. Berarti menetapkan nama dan juga sifat bagi Allah subhanahu wata’ala tidak mengharuskan seseorang menyamakan sifat Allah subhanahu wata’ala dengan sifat makhluk. Sehingga seperti yang dikatakan oleh sebagian, menuduh Ahlu Sunnah Wal jamaah sebagai musyabbihah yaitu orang yang menyamakan Allah subhanahu wata’ala dengan makhluk atau ada yang menuduh ahlu sunnah sebagai mujassimah karena ketika ahlu sunnah menetapkan tangan bagi Allah subhanahu wata’ala menetapkan dua mata bagi Allah subhanahu wata’ala kemudian ketika mereka melihat jism (jasad) manusia kemudian mereka akhirnya menuduh ahlul sunnah sebagai mujassimah, Allah subhanahu wata’ala memiliki jasad sebagaimana manusia atau jism sebagaimana manusia, ini salah paham. Tidak ada di sana talazum bahwasanya orang yang menentukan sebuah sifat bagi Allah subhanahu wata’ala kemudian berarti dia menyamakan Allah subhanahu wata’ala dengan makhluk, tidak.
Kita berjalan diatas firman Allah subhanahu wata’ala
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Kita semuanya meyakini Allah subhanahu wata’ala Maha Mendengar tapi pendengaran Allah subhanahu wata’ala tidak sama dengan pendengaran makhluk, pendengaran Allah subhanahu wata’ala adalah pendengaran yang sempurna berbeda dengan pendengaran kita yang lemah dan banyak perkara yang tidak bisa kita dengar padahal itu dekat dengan kita, apalagi suara-suara yang jauh. Dan Allah subhanahu wata’ala Maha Melihat dan Maha Sempurna Penglihatan-Nya, adapun kita maka kita memiliki penglihatan tapi penglihatan kita adalah penglihatan yang penuh dengan kekurangan. Jadi dari mana kita dinamakan sebagai musyabbihah mujassimah padahal kita tidak pernah menyerupakan sifat tersebut dengan sifat makhluk.
Sebagian memberikan permisalan, contoh misalnya seseorang yang datang kepada kita kemudian membawa hewan yang aneh yang mungkin kita baru pertama kali atau belum pernah melihatnya. Tapi dia karungi hewan tadi dan mengatakan saya membawa sebuah hewan, dia punya tangan punya kaki punya mata tapi kamu belum pernah melihatnya dan ketika dia berbicara dia punya tangan punya kaki kemudian kita membenarkan. Teman ini dia bukan orang yang suka guyon atau orang yang suka bohong, kita yakini kita benarkan apa yang dia ucapkan.
Ketika kita mengatakan oh ya dia punya tangan dia punya kaki dia punya mata, apakah ketika kita membenarkan demikian berarti kita mengatakan bahwa hewan yang ada dalam karung ini tangannya sama dengan tangan kita, kakinya sama dengan kaki kita, ini diucapkan orang yang paham dan orang yang berakal. Ketika dia mengatakan iya saya benarkan karena dia memahami makna tangan makna kaki, dia paham, tapi ketika dia membenarkan bukan berarti dia menyamakan antara tangan hewan yang ada dalam karung ini dengan tangan manusia, tidak, itu menunjukkan tentang pemahaman dia.
Jadi Allah subhanahu wata’ala menggunakan kata-kata istawa, al-yad, ini dengan bahasa Arab yang jelas yang bisa dipahami oleh orang yang mempelajari bahasa arab, yang maknanya jelas sehingga kita memahami istawa, al-yad, al-‘ain mata ini dengan bahasa yang turun dengannya Al-Qur’an, bahasa yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tapi ini permisalan untuk memudahkan, sekali lagi ketika Ahlus Sunnah menetapkan bukan berarti mereka mentasybih. Kalau demikian sangat mudah sekali kita memahami nama dan juga sifat Allah subhanahu wata’ala, tidak ada sesuatu yang masalah, tidak ada sesuatu yang berat untuk kita tetapkan.
Bahkan di dalam dalil yang para ulama berselisih pendapat apakah ini berbicara tentang sifat Allah subhanahu wata’ala atau bukan, ketika kita memahami faedah ini mudah, seandainya ini adalah sifat Allah subhanahu wata’ala ya kita tetapkan sebagai mana datangnya sesuai dengan keagungan Allah subhanahu wata’ala, sehingga para sahabat, para salaf, para tabi’in, para tabi’-tabi’in inilah aqidah mereka. Tidak ada takalluf dan tidak ada isykal bagi mereka, para sahabat radhiallahu ta’ala ‘anhum menetapkan apa yang Allah subhanahu wata’ala tetapkan dan juga rasul-Nya tetapkan di dalam Al-Qur’an dan juga hadits, tidak ada diantara mereka yang mengatakan bagaimana, kenapa bisa demikian, mereka dididik oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan didikan yang benar dalam masalah nama dan juga sifat Allah subhanahu wata’ala.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Al imam Malik Rahimahullah, guru dari imam Syafi’I, imam penduduk kota Madinah di zamannya pernah didatangi oleh seseorang atau ada orang yang bertanya di majelis beliau dan dia mengatakan
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ [ طه:5]
Membaca firman Allah subhanahu wata’ala bahwasanya Ar Rahman yaitu Allah subhanahu wata’ala beristiwa di atas arsy. Dia mengatakan kaifastawa? Bagaimana Allah subhanahu wata’ala beristiwa. Al imam Malik Rahimahullah ketika mendengar pertanyaan ini dan ini pertanyaan yang tidak pernah diucapkan oleh para sahabat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pernah ditanyakan oleh tabi’in kepada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berubah wajah beliau, marah dengan pertanyaan seperti ini.
Kemudian beliau mengucapkan sebuah ucapan yang ini merupakan kaidah yang besar dalam masalah nama dan sifat Allah subhanahu wata’ala, beliau mengatakan “al-istiwa’u ma’lum”, Al-Istiwa adalah sesuatu yang maklum, yaitu yang di ketahui maknanya, dia bukan bahasa asing yang kita yaitu orang-orang Arab tidak mengetahui maknanya, tidak, itu adalah kalimat yang maklum di dalam bahasa Arab, maknanya adalah ‘ala wartafa’a, washa’ada wastaqarr, meninggi, menetap, al-istiwa’u ma’lum.
وَالْكَيْفُ مَجْهُوْل
Dan bagaimana tata caranya, yaitu bagaimana Allah subhanahu wata’ala beristiwa majhul, tidak diketahui. Allah subhanahu wata’ala tidak pernah memberitahukan kepada kita tentang bagaimananya, tidak diketahui, tidak ada satu ayat pun didalam Al-Qur’an atau satu hadits yang berisi tentang bagaimana Allah subhanahu wata’ala beristiwa, majhul, tapi dia memiliki kaifiyah, yang mengetahui kaifiyahnya adalah Allah subhanahu wata’ala. Kita tidak mengetahui kaifiyah tapi Allah subhanahu wata’ala mengetahui kaifiyah, karena segala sesuatu pasti ada kaifiyahnya, yang kita ingkari disini bukan kaifiyahnya atau bahwasanya Allah subhanahu wata’ala tidak ada kaifiyahnya, yang kita ingkari adalah ilmu kita, kita tidak mengetahui tentang kaifiyah dan bagaimana istiwa Allah subhanahu wata’ala.
وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ
Berimanبِهِ , yaitu dengan istiwa Allah subhanahu wata’ala adalah sesuatu yang wajib. Kenapa wajib karena Allah subhanahu wata’ala mengabarkan di dalam Al-Qur’an ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ, kemudian Allah subhanahu wata’ala mengatakan ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ dalam 6 ayat dalam Al-Qur’an dengan lafadz yang sama. Berarti beriman bahwasanya Allah subhanahu wata’ala berisitwa itu wajib, Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahkan bukan hanya satu ayat tapi tujuh ayat dalam Al-Qur’an Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwasanya Diri-Nya beristiwa menunjukkan ta’qid, menunjukkan penguatan. Bagaimana seseorang yang beriman dia mengingkari, beriman dengan istiwa Allah subhanahu wata’ala adalah wajib
وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
Dan bertanya tentang istiwa Allah subhanahu wata’ala, yaitu bertanya tentang bagaimananya, sebagaimana diucapkan oleh laki-laki tadi bagaimana Allah subhanahu wata’ala beristiwa, pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang bid’ah, kenapa dinamakan bid’ah, tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pernah ditanyakan para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam padahal para sahabat adalah orang yang paling semangat untuk mengetahui perkara yang bermanfaat bagi mereka di dalam agama mereka, mereka bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ahillah, bertanya tentang masalah hail, mereka bertanya tentang syahrul haram, dan juga pertanyaan-pertanyaan yang lain, tapi tidak ada satupun pertanyaan mereka berupa seperti pertanyaan laki-laki ini, yaitu mengatakan bagaimana Allah subhanahu wata’ala beristiwa, bagaimana tangan Allah subhanahu wata’ala karena mereka mengetahui firman Allah subhanahu wata’ala
لَيْسَ كَمِثْلِهِ
Tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala, itu saja yang mereka pegang kaidahnya. Sehingga Al-imam Malik mengatakan
وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
Ini adalah imam diantara imam imam Ahlus Sunnah, guru dari imam Syafi’i dan imam Syafi’i di atas manhaj beliau yaitu manhaj ahlussunnah wal jama’ah dan inilah manhaj al-imamu Ahmad bin hanbal dan seluruh imam imam ahlus Sunnah wal jamaah.
Dan apa yang diucapkan oleh Imam Malik ini bisa digunakan untuk memahami sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala yang lain, misalnya tangan Allah subhanahu wata’ala, kita katakan al-yad ma’lūmah, tangan itu dalam bahasa Arab suatu yang maklum maknanya, wal kaifu majhul dan bagaimana tangan Allah subhanahu wata’ala majhul (tidak diketahui), wal imanu biha wajib, beriman dengan tangan Allah subhanahu wata’ala adalah wajib, wassu’alu ‘anhu bid’ah, dan bertanya tentang bagaimana tangan Allah subhanahu wata’ala adalah sesuatu yang bid’ah. Gunakan kaidah ini dalam seluruh nama dan seluruh sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]