Halaqah yang ke-122 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Fadhlul Islam yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah.
وَعَنْ حُذَيفَةَ، قَالَ: «كُلُّ عِبَادَةٍ
Dan dari Hudzaifah semoga Allah Subhanahu wata’ala meridhai beliau, beliau mengatakan setiap ibadah
لَا يَتَعَبَّدَهَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ فَلَا تَتَعَبَّدُوهَا
setiap ibadah yang tidak pernah melakukan ibadah tadi para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam,
فَلَا تَتَعَبَّدُوهَا
maka janganlah kalian beribadah dengan ibadah tersebut, bercerminlah kepada para sahabat radhiallahu anhu, jangan kita hanya mengandalkan dalil-dalil yang umum yang bisa dibawa ke sini, ke sana, tapi kita harus kembali kepada apakah ibadah ini pernah dilakukan oleh para sahabat. Kalau memang pernah mereka lakukan, ihmadullah, berarti boleh kita melakukan ibadah tadi karena inilah yang dipahami oleh para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, kalau tidak فَلَا تَتَعَبَّدُوهَا kalau tidak maka jangan kalian sekali-kali melakukan ibadah tadi.
Maulud Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam misalnya, mungkin sebagian orang mendatangkan banyak dalil
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِ
Atau dalil-dalil umum yang lain yang ingin menjelaskan kepada kita tentang pentingnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Langsung kita kembali kepada zaman para sahabat radhiallahu ta’ala anhum, dan kita semuanya sepakat tidak ada yang lebih mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari pada para sahabat, cinta mereka sangat mendalam ditunjukkan oleh bagaimana pengorbanan mereka dan kisah-kisah mereka yang sangat menyentuh dan mengharukan dalam memperjuangkan dan membela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ternyata tidak ada diantara mereka yang merayakan kelahiran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, maka setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat jangan kita beribadah dengan ibadah tersebut
فَإِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخَرِ مَقَالًا
karena sesungguhnya yang pertama, maksudnya adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak meninggalkan untuk yang terakhir, yaitu untuk orang-orang yang datang setelahnya, مَقَالًا yaitu kesempatan untuk membuat ibadah yang baru, kurang lebih demikian.
Kalau memang itu disyariatkan, yakin sudah dilakukan oleh para sahabat. Mereka ini orang-orang pilihan, dipilih oleh Allah subhanahu wata’ala untuk menimba agama ini, menyampaikan kepada orang-orang yang datang setelah mereka dan dipilih oleh Allah subhanahu wata’ala untuk mengamalkan apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang getol di dalam beramal, meskipun mereka mungkin memiliki ilmu yang sedikit tapi mereka mengamalkan yang sedikit tadi.
Semakin banyak ilmunya semakin mereka beramal, dan apa yang disebutkan oleh Abu Abdurrahman as-Sulami
حَدَّثَنَا مَنْ كَانَ يُقْرِئُنَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كَانُوا إذا تعلم عشر آيات لم يجاوزها حتى يَتعلمُوا مَا فِيهَا مِنْ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ قَال فَتعَلمْنَا الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ جميعا
Telah mengabarkan kepada kami orang-orang yang mengajarkan kami Al-Qur’an diantara para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, seperti Utsman, Ubay, Abdullah ibn Mas’ud, mereka mengabarkan kepada kami bagaimana cara mereka dahulu menuntut ilmu. Dahulu mereka apabila mempelajari 10 ayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam10ayat saja, maka mereka tidak melewati 10 ayat tadi sampai mereka mempelajari maknanya dan juga mengamalkan isinya, mereka tanya kalau memang ini mereka tidak tahu maknanya, sampai mereka benar-benar paham kemudian mereka amalkan, kalau sudah baru berpindah meminta kembali sepuluh ayat yang lain.
Itulah kaum tersebut yaitu para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, sehingga kalau demikian jangan kita mengira mereka meninggalkan kepada kita kesempatan untuk membuat bid’ah yang yang baru, semua sudah mereka terangkan semua sudah mereka amalkan. Tinggal kita bercermin saja, kalau diamalkan oleh para sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, amalkan, tidak masalah, kalau tidak pernah diamalkan oleh mereka maka jangan kita beribadah dengan amalan tersebut.
Maka tentunya ini adalah tahdzir dari bid’ah, ucapan Hudzaifah ini adalah tahdzir dari membuat bid’ah di dalam agama
فَاتَّقُوْا اللَّهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءَ!
Maka hendaklah kalian bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala wahai orang-orang yang qurra’, dan yang dimaksud dengan qurra’ di sini bukan istilah qurra’ yang ada di zaman kita. Qurra’ di zaman para sahabat radhiallahu ta’ala anhum mereka adalah orang-orang yang menyibukkan diri dengan Al-Quran dan mengamalkan isinya, itulah qurra’ dan mereka adalah ulama, ulama yang ‘amilīn. Adapun qurra’ di zaman sekarang maka ini adalah istilah bagi orang yang suaranya bagus atau mereka memiliki qiro’at, maka dikatakan dia sebagai seorang qari’ atau seorang qurra’.
وَخُذُوا طَرِيقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم
Dan hendaklah kalian mengambil jalan orang-orang sebelum kalian, maksudnya adalah para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, jangan kalian mengambil jalan yang lain
خُذُوا طَرِيقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم
ambillah jalan orang-orang sebelum kalian. Ini nasihat beliau khusus kepada para qurra’ dan maksudnya disini bukan berarti yang harus untuk mengikuti jalan para sahabat adalah qurra’ saja.
Kenapa di sini beliau berbicara kepada qurra’, karena mereka dicontoh oleh manusia. Kalau mereka Istiqomah di atas ilmu, di atas amal maka mereka akan melesat jauh ke depan karena mereka berilmu dan beramal dan orang yang berilmu dimudahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala jalan-jalan kebaikan
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
akan dimudahkan jalan menuju surga
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
kalau kalian Istiqomah maka kalian akan mendahului mereka dan melesat dengan jarak yang sangat jauh, tapi kalau sampai kalian tersesat menyimpang dari jalan yang lurus maka sungguh kalian akan tersesat dengan kesesatan yang jauh.
Makanya beliau memberikan nasehat ini kepada qurra’ bukan berarti ini khusus bagi mereka tapi kedudukan mereka yang dicontoh dan diteladani oleh manusia, kalau sampai mereka menyimpang ini di belakang mereka banyak orang yang meniru mereka akhirnya mereka ikut menyimpang
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً؛ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ إلى يوم القيامة، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Beliau mengatakan disini
رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Diriwayatkan atsar ini oleh Abu Dawud, tapi kalau kita kembali ke kitab Sunan Abi Dawud kita tidak menemukan yang demikian. Allahu a’lam dan kita sudah berusaha untuk mencari, tidak kita dapatkan, apakah itu adalah sahwun dari muallif dan juga yang lain atau memang di sana ada nuskhah sunnan Abi Dawud yang di situ ada penyebutan atsar ini, tapi maknanya shahih (benar) tidak bertentangan dengan pondasi di dalam agama kita.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Fadhlul Islam]