Halaqah yang ke-93 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Hadits-hadits yang merupakan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
تُفَسِّرُ الْقُرآنَ
Fungsi dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diantaranya adalah menjelaskan apa yang ada di dalam Al-Qur’an
وتُبَيِّنُهُ
dan juga menjelaskan apa yang ada di dalam Al-Qur’an
وتَدُلُّ عَلَيْهِ
dan menunjukkan apa yang ada di dalam Al-Qur’an
وتُعَبِّرُ عَنْهُ
dan mengibaratkan atau mengungkapkan apa yang ada dalam Al-Qur’an
Sunnah ini menafsirkan Al-Qur’an sebagaimana contohnya ketika kita membahas tentang ru’yatullah
لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
Bagi orang-orang yang ihsan maka mereka mendapatkan al-husna (surga) dan mereka mendapatkan tambahan.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan ayat ini mendatangkan hadits bahwasanya kelak di Hari Kiamat akan ada yang memanggil penduduk surga wahai penduduk surga sesungguhnya kalian memiliki perjanjian dengan Allah subhanahu wata’ala dan Allah subhanahu wata’ala ingin menunaikan janji tersebut, kemudian mereka mengatakan bukankah Allah subhanahu wata’ala telah memasukkan kami ke dalam surga, bukankah Allah subhanahu wata’ala telah menyelamatkan kami dari neraka dan memutihkan wajah-wajah kami kemudian Allah subhanahu wata’ala menyingkap hijabnya dan merekapun melihat wajah Allah subhanahu wata’ala dan mereka merasa bahwasanya mereka tidak diberi kenikmatan yang lebih nikmat daripada melihat wajah Allah subhanahu wata’ala, inilah yang dimaksud dengan ziyadah (tambahan).
Berarti di sini diantara fungsi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah menafsirkan apa yang ada didalam Al-Qur’an, kadang menafsirkan tentang lafadznya, terkadang disebutkan tentang sababun nuzulnya dan ini adalah termasuk cara menafsirkan Al-Qur’an, terkadang ayat Al-Qur’an ditafsirkan oleh ayat Al-Qur’an yang lain seperti misalnya Firman Allah subhanahu wata’ala
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
orang-orang yang Engkau berikan nikmat, siapa mereka? ditafsirkan oleh Allah subhanahu wata’ala di dalam surat An-Nisa’
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقٗا ٦٩
Maka mereka bersama orang-orang yang Allah subhanahu wata’ala berikan nikmat kepada mereka, dan disini Allah subhanahu wata’ala merinci; dari kalangan para nabi, shiddīqīn, para syuhada, orang-orang yang soleh.
Dengan kita mempelajari sunnah maka akan jelas apa yang ada di dalam Al-Qur’an, kita mengetahui tafsirnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling memahami Al-Qur’an dan sebaik-baik orang yang menafsirkan Al-Qur’an.
وتُبَيِّنُهُ
dan Sunnah ini menjelaskan, dan makna menjelaskan agak berbeda dengan tufassir, tubayyin disini maksudnya kadang memperinci, sebenarnya sudah jelas tapi di perjelas dan diperinci di dalam Sunnah, contohnya misalnya tentang masalah shalat dan zakat, Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ
Dan hendaklah kalian mendirikan shalat, perincian waktunya kapan berapa raka’at apa yang dibaca ketika ruku’ ketika sujud semuanya diperinci didalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak akan kita dapatkan dalam ayat, ini namanya sunnah tubayyin, yaitu menjelaskan memperinci. Kemudian juga Firman Allah subhanahu wata’ala hendaklah kalian membayar zakat, perincian tentang zakat apa saja yang dizakati berapa nishabnya dan ketentuan-ketentuan yang lain banyak disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam didalam sunnahnya. Kalau seseorang hanya mencukupkan diri dengan Al-Qur’an bagaimana dia bisa melaksanakan shalat lima waktu dengan baik, bagaimana seseorang bisa melaksanakan syi’ar zakat dengan baik dan kebanyakan disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam didalam sunnah Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
وتَدُلُّ عَلَيْهِ
Dan sunnah ini menunjukkan kepada Al-Qur’an, ada yang mengatakan bahwasanya kalimat ini lebih umum daripada tafsir dan juga tabyin
وتُعَبِّرُ عَنْهُ
Dan dia mengungkapkan, terkadang maknanya ada di dalam Al-Qur’an kemudian di ungkapkan di dalam hadits dengan makna-makna yang baru dengan lafadz yang lain dan maknanya hampir sama, wallahu a’lam diantaranya Firman Allah subhanahu wata’ala
لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلۡمُطَهَّرُونَ ٧٩
[Al-Waqi’ah]
Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
لا يمس القرآن إلا طاهر
Wallahu a’lam disini mungkin bisa menjadi contoh tentang ungkapan tadi.
Beliau rahimahullah mengatakan
وَمَا وَصَفَ الرَّسُولُ بِهِ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ الَّتِي تَلَقَّاهَا أَهْلُ الْمَعْرِفَةِ بِالْقَبُولِ؛ وَجَبَ الإيمَانُ بِهَا كَذَلِك
Dan apa yang disifati oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam atau apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sifat dengan-Nya Allah subhanahu wata’ala, baik sifat fi’liyyah maupun dzatiyyah baik yang khobariyyah maupun yang aqliyyah
مِنَ الأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ
Diantara hadits-hadits yang shahih, ingat disini kita menggunakan hadits-hadits yang shahih yaitu hadits-hadits yang terpenuhi syarat shahihnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adl, dan mereka rawi-rawi yang kuat hafalannya baik yang sangat kuat maupun yang kurang dari pada itu tidak sampai sekuat yang pertama, kemudian sanadnya bersambung dan tidak ada di dalamnya penyelisihan terhadap hadits yang lain yang lebih shahih, dan tidak ada didalamnya illah (penyakit), termasuk didalamnya hadits yang shahih maupun yang hasan.
الَّتِي تَلَقَّاهَا أَهْلُ الْمَعْرِفَةِ بِالْقَبُولِ
Yang diterima oleh ahlul ma’rifah dengan penerimaan, yang dimaksud dengan ahlul ma’rifah disini adalah ahlul hadits / ahlul ‘ilm, jadi yang menerima hadits tadi yang menghukumi hadits tadi dan menyatakan bahwasanya itu adalah hadits yang shahih adalah ahlul ma’rifah, kita tidak bicara tentang orang yang bukan ahlul ma’rifah, mungkin sana ada ahlul bid’ah ahlul ahwa yang mereka menshahihkan sesuai dengan hawa nafsunya dan mendha’ifkan sesuai dengan hawa nafsunya, ini kita tidak menoleh kepada yang demikian.
Yang kita pakai adalah ucapan para muhadditsun ahlul ma’rifah yang mereka memang mengenal hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan baik karena mereka bergelut semenjak mereka masih kecil mereka masih muda makanan mereka adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, menghafal melakukan rihlah mudzakarah sehingga mereka sangat mengenal hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana seorang tukang emas mereka sangat mengenal mana logam yang merupakan emas dan mana yang bukan, sesuai dengan pengalaman mereka maka akan terlihat kemahiran mereka dalam membedakan antara emas dengan yang selain emas, sebelum memegang saja sebelum mencoba saja dia sudah tahu ini emas dan ini bukan emas, ini tukang-tukang emas.
Dan ini disebutkan oleh sebagian ahlul hadits bahwasanya para ulama ahlul hadits itu sebagaimana mereka yaitu tukang-tukang emas yang sangat-sangat bisa membedakan mana yang hadits dan mana yang bukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak bisa ditipu meskipun seseorang mendatangkan ucapan yang masya Allah seperti ucapan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dengan peribahasa yang tinggi dengan bahasa yang tinggi kemudian mendatangkan sanad, dipilih sanad-sanad yang muttashil dengan rawi-rawinya yang dzabithun tapi dengan mudah akan dibongkar oleh para muhadditsun para ahli hadits pada ahlul ma’rifah.
Maka yang kita jadikan dalil disini adalah hadits-hadits yang shahih, berarti ucapan beliau الأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ kita tidak menerima hadits-hadits yang dha’if apalagi hadits yang palsu dalam mensifati Allah subhanahu wata’ala, kita hanya menerima hadits yang shahih saja yang telah diterima oleh para ahli hadits dan dihukumi bahwasanya itu adalah hadits hasan atau shahih, kalau memang itu adalah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
وَجَبَ الإيمَانُ بِهَا كَذَلِك
maka wajib untuk beriman dengannya كَذَلِك demikian pula, وَجَبَ berarti dia adalah sesuatu yang wajib / harus, kalau sampai tidak beriman dengan apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka dia telah melakukan kesalahan yang besar, melakukan dosa, Allah subhanahu wata’ala mengatakan
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِ
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kalian beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan juga Rasul-Nya, ini adalah perintah dan asal dari perintah adalah sebuah kewajiban
كَذَلِك
Demikian pula, yaitu sebagaimana kita beriman dengan Al-Qur’an maka kita juga beriman dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan didalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam banyak di sana sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala yang Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan, banyak diantaranya adalah sifat-sifat yang mutsbatah (ditetapkan) bagi Allah subhanahu wata’ala sebagaimana nanti akan disebutkan satu persatu oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tentang sifat farah sifat nuzul sifat tertawa bagi Allah subhanahu wata’ala sifat heran maka kita tetapkan apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik sifat-sifat yang mutsbatah maupun sifat-sifat yang manfiyah sebagaimana kita mengimani itu di dalam Al-Qur’an.
Yaitu kita tetapkan tanpa kita mentahrif tanpa kita menta’til tanpa kita mentakyif tanpa kita mentamtsil, tidak boleh kita mentahrifnya baik tahrif yang lafadz maupun yang makna dan tidak boleh kita menta’til yaitu menolaknya, tidak boleh kita mentakyif yaitu menyebutkan tentang kaifiyahnya dan tidak boleh kita mentamtsil yaitu menyerupakan menyerupakan Allah subhanahu wata’ala dengan sifat makhluk, tapi kita tetapkan sesuai dengan keagungan Allah subhanahu wata’ala sebagaimana telah kita ulang berkali-kali ketika menyebutkan sifat-sifat yang ada di dalam Al-Qur’an
كَذَلِك
Maka dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga demikian, apa yang datang dari Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kita tetapkan sebagaimana kalau itu datang dari Al-Qur’an dan kita yakini bahwasanya sifat tersebut sesuai dengan keagungan Allah subhanahu wata’ala dan tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh makhluk.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]