• Berdo’a dan bertaqarrub kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal.
• Menyerahkan sebagian ibadah kepada mereka dengan tujuan supaya:
- Mendapatkan syafa’at orang-orang shalih tersebut disisi Allah Subhanahu wata’ala.
- Mencari kedekatan kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Allah Subhanahu wata’ala sendiri telah menceritakan keyakinan mereka ini di dalam Al Quran dan Allah Subhanahu wata’ala mengingkarinya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan mereka menyembah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak memudharati mereka dan tidak pula memberi manfaat. Dan mereka berkata, ‘Mereka adalah pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah.’ Katakanlah: ‘Apakah kalian akan mengabarkan kepada Allah sesuatu yang Allah tidak ketahui di langit maupun di bumi?’ Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan.” (QS Yunus :18)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wata’ala menamakan perbuatan mereka sebagai bentuk menyekutukan Allah. Dan Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman:
“Ketahuilah bahwa milik Allah-lah agama yang tulus. Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sekutu, (mereka mengatakan) ‘Tidaklah kami menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah’ Sesungguhnya Allah akan menghukumi diantara mereka di dalam apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang berdusta lagi sangat ingkar.” (QS Az Zumar: 3)
Ayat ini menunjukan bahwa tujuan mereka menyembah orang-orang shalih tersebut adalah supaya mereka mendekatkan penyembahnya kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Dan cara meraih syafa’at di hari kiamat bukanlah demikian.
Cara meraih syafa’at di hari kiamat adalah dengan memurnikan tauhid, bukan dengan kesyirikan.
Dan cara dekat dengan Allah Subhanahu wata’ala adalah mendekatkan diri kepada-Nya dengan iman dan amal shalih, yang wajib maupun yang sunnah, sebagaimana orang-orang shalih tersebut melakukannya.
Tidak boleh seseorang menyamakan Allah Subhanahu wata’ala dengan seorang kepala negara yang sulit menyampaikan hajat kepadanya kecuali melalui perantara dan para pembantunya.
Tidak boleh seseorang menyerupakan Allah Subhanahu wata’ala dengan siapapun karena Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan Maha Berkuasa.
Sedangkan seorang kepala negara, maka dia adalah makhluk yang lemah, tidak mampu melakukan seluruh pekerjaannya kecuali dibantu oleh para pembantunya.