Halaqah yang ke-82 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Pembahasan tentang sifat kalam bagi Allah subhanahu wata’ala, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah membawakan banyak ayat yang berkaitan atau yang menetapkan tentang sifat kalam bagi Allah subhanahu wata’ala
وَقَوْلُـهُ : وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
Dan Firman Allah subhanahu wata’ala; Dan Allah subhanahu wata’ala berbicara kepada Musa تَكْلِيمًا, ini juga termasuk dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala memiliki sifat kalam, memiliki sifat taklīm, dan Allah subhanahu wata’ala berbicara kepada Musa dengan sebenar-benar pembicaraan, تَكْلِيمًا disini adalah untuk menguatkan, dia adalah mashdar yang didatangkan untuk menguatkan seperti kita mengatakan
ضرب زيد عمرا ضربا
Maksudnya adalah benar-benar memukul
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
Allah subhanahu wata’ala berbicara kepada Musa dengan sebenar-benarnya, dan yang seperti ini dalam bahasa Arab itu untuk menegaskan bahwasanya ini bukan majas, dan diantara faedahnya didalam bahasa Arab seandainya kita menerima apa yang dinamakan dengan majas maka kalau sudah ada penguat (taukid) seperti ini menunjukkan bahwasanya ini tidak mungkin dibawa kemakna yang majas, bahkan orang-orang yang mereka menyatakan adanya majas ketika mereka melihat yang seperti ini mereka memahami bahwasanya ini adalah menafikan adanya majas, ketika ada taukid seperti ini.
Seperti dalam ucapan kita misalnya
جاء زيد زيد
Diulang kata Zaid dua kali, dan ini adalah menunjukkan taukid (menguatkan) berarti di sini tidak ada majas, yang datang itu ya benar-benar Zaid bukan utusannya bukan suratnya tapi yang datang benar-benar Zaid tidak ada majas disini, atau kita mengatakan
جاء زيد نفسه
Datang Zaidun dirinya sendiri, berarti di sini ada taukid juga dan maknanya adalah penguatan tidak menerima di sini yang dinamakan dengan majas, dan disini Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
Dan Allah subhanahu wata’ala berbicara kepada Musa dengan sebenar-benarnya, menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata’ala benar-benar berbicara kepada Musa.
Ada sebagian ahlu bid’ah mentahrif dengan tahrif yang lafdziy, lafadznya diubah oleh dia karena dia sudah punya akidah meyakini bahwasanya Allah subhanahu wata’ala itu tidak berbicara sehingga ketika membaca Firman Allah subhanahu wata’ala
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
Syaithan berbisik dan membisikkan kepadanya bahwasanya ini bacanya bukan وَكَلَّمَ اللَّهُ tapi membacanya adalah وَكَلَّمَ اللَّهَ karena dia mungkin sudah belajar nahwu dan sudah belajar tentang fa’il dan juga maf’ul dan tanda i’rabnya maka dia menggunakan ilmu ini tapi ternyata dia mengikuti hawa nafsunya, jadi ilmu yang dia pelajari digunakan untuk menguatkan kebid’ahannya, menguatkan hawa nafsunya, jadilah yang berbicara adalah Musa, Musa berbicara kepada Allah subhanahu wata’ala dengan sesungguhnya, dengan sebenar-benarnya, ini adalah termasuk tahrif terhadap kalamullah, mengubah-ngubah Al-Qur’an supaya sesuai dengan hawa nafsunya, dan orang yang demikian tidak akan beruntung, pasti di sana ada dalil yang membantah, dalil yang menentang apa yang dia ucapkan, karena dia mengikuti hawa nafsu, dan itu qa’idah, tidaklah seorang ahlu bid’ah mendatangkan syubhat merubah-rubah makna Al-Qur’an dan juga hadits kecuali di sana ada dalil yang membantah syubhat tadi.
Kalau memang ini dibaca وَكَلَّمَ اللَّه مُوسَى تَكْلِيمًا bagaimana dia membaca Firman Allah subhanahu wata’ala yang nanti akan disampaikan dan didatangkan oleh beliau
وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ
Dan ketika Musa datang sesuai dengan perjanjian dengan kami dan Rabb nya berbicara kepadanya, silakan dia mendatangkan seluruh qa’idah yang dia tahu di dalam bahasa Arab bagaimana cara membaca وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ, tidak ada yang benar kecuali sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ, Rabb nya Musa berbicara kepada Musa, tidak mungkin dia akan merubah sebagaimana dalam ayat yang pertama dan membacanya وَكَلَّمَهُ رَبّهُ, kalau dia merubahnya menunjukkan bahwasanya dia tidak bisa bahasa Arab, itu menunjukkan tentang kebodohan dia, ini akibat orang yang mengikuti hawa nafsu pasti di sana akan terbantahkan dengan dalil yang lain, ini menunjukkan tentang kesempurnaan Al-Qur’an Kitabullah
مَا فَرَّطنَا فِى الكِتَبِ مِن شَيءٍ
kami tidak meninggalkan sedikitpun, artinya seluruhnya dijelaskan oleh Allah subhanahu wata’ala.
Oleh karena itu orang yang benar-benar mempelajari Al-Qur’an sunnah, mempelajari lebih dalam tentang agama ini semakin yakin tentang kebenaran agama ini, dan semuanya bisa dibantah dengan dalil yang shahih dengan pemahaman yang shahih kalau kita benar-benar mempelajari agama ini dengan baik, sebagaimana para ulama mereka mempelajari agama ini dengan baik sehingga setiap syubhat yang datang mereka tahu bagaimana cara membantahnya dan mengetahui letak kesalahan dari syubhat tadi.
Dan membantah syubhat ini pernah terjadi di zaman dahulu ketika terjadi perdebatan antara seorang yang menafikan sifat Kalam bagi Allah subhanahu wata’ala dan seorang Ahlussunnah Wal Jama’ah, ahlu bid’ah tadi mengatakan seandainya engkau membaca Firman Allah وَكَلَّمَ اللَّه مُوسَى تَكْلِيمًا, kemudian Ahlussunnah ini mengatakan seandainya aku membaca demikian apa yang aku lakukan terhadap Firman Allah وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ maka seorang mu’tazilah ini dia tidak bisa berbicara karena memang tidak bisa dibaca kecuali dengan bacaan ini وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ yaitu Rabb nya Musa berbicara kepada Musa ‘alaihissalam.
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
Ini adalah kelebihan Nabi Musa ‘alaihissalam, keutamaannya Allah subhanahu wata’ala berbicara kepada beliau, dan ini tidak semua yang demikian, bahkan para nabi sekalipun tidak semuanya Allah subhanahu wata’ala berikan kelebihan kepada mereka Allah subhanahu wata’ala berbicara langsung kepada mereka, ini hanya sebagian nabi saja, makanya setelahnya beliau mendatangkan Firman Allah subhanahu wata’ala
وَقَوْلُـهُ
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۘ مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ اللَّهُ
Itu adalah para rasul kami mengangkat sebagian mereka di atas sebagian yang lain di antara mereka ada yang Allah subhanahu wata’ala berbicara kepadanya, berarti disini adalah kelebihan keutamaan yang Allah subhanahu wata’ala berikan kepada sebagai Rasul, ada diantara mereka yang diajak bicara oleh Allah subhanahu wata’ala secara langsung dan ada yang tidak, di antaranya adalah Nabi Musa ‘alaihissalam sehingga beliau adalah Kalimullah orang yang pernah diajak bicara oleh Allah subhanahu wata’ala, dan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga termasuk yang pernah diajak bicara oleh Allah subhanahu wata’ala, demikian pula Nabi Adam ‘alaihissalam berdasarkan dalil-dalil maka beliau yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam kemudian Nabi Musa ‘alaihissalam dan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ini termasuk yang pernah diajak bicara oleh Allah subhanahu wata’ala secara langsung.
Kalau misalnya maksudnya adalah seperti ucapan mereka Musa berbicara kepada Allah subhanahu wata’ala maka hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala mereka berbicara kepada Allah subhanahu wata’ala bukan hanya Nabi Musa ‘alaihissalam, ketika seseorang berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala dan mengatakan Ya Rabb, Allahumma ya Allah subhanahu wata’ala berbicara kepada Allah subhanahu wata’ala, semua hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala mereka berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala berbicara kepada Allah subhanahu wata’ala, jadi banyak diantara mereka yang berbicara kepada Allah subhanahu wata’ala, seandainya maksudnya adalah Musa berbicara kepada Allah subhanahu wata’ala maka ini bukan kelebihan bukan keutamaan yang hanya beliau miliki saja tapi ini banyak dimiliki oleh hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala. Sehingga ucapan mereka bahwasanya Musa yang berbicara kepada Allah subhanahu wata’ala ini adalah ucapan yang bathil, ini adalah mengikuti hawa nafsu karena mereka ingin menafikan sifat kalam dari Allah subhanahu wata’ala
مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ اللَّهُ ۖ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ
Dan Allah subhanahu wata’ala mengangkat sebagian mereka beberapa derajat.
Semua nabi dan para rasul mereka adalah sebaik-baik manusia, diantara seluruh manusia ini yang paling baik adalah para nabi dan juga para rasul dan diantara mereka sendiri bertingkat-tingkat
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
Sebagian mereka kami utamakan di atas sebagian yang lain.
Meyakini tentang hal ini tidak masalah, inilah yang ditunjukkan oleh dalil yaitu menyakini bahwa hanya sebagian nabi itu lebih afdhal daripada sebagian yang lain, yang paling afdhal adalah Ulul Azmi, mereka adalah Nabi Nuh Ibrahim Musa ‘Isa dan juga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang paling afdhal di antara para Ulul Azmi adalah Nabi Ibrahim dan juga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam karena keduanya adalah kekasih Allah subhanahu wata’ala, dan yang paling afdhal diantara keduanya adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang dilarang adalah beriman dengan sebagian Rasul dan kufur kepada sebagian yang lain, ini yang dilarang, inilah yang dimaksud dengan Firman Allah subhanahu wata’ala
لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّن رُّسُلِهِ
Kami tidak membeda-bedakan diantara para Rasul
Maksudnya tidak membeda-bedakan adalah kami tidak seperti Ahlu kitab yang mereka beriman dengan sebagai Rasul dan kufur dengan sebagai yang lain, beriman kepada Nabi Musa kufur kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beriman kepada Nabi Musa kufur kepada Nabi ‘Isa seperti orang-orang Yahudi, atau seperti orang-orang nashara beriman dengan Nabi Musa Nabi ‘Isa tapi tidak beriman dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ini tidak boleh, ini termasuk tafriq (membeda-bedakan) antara para rasul, adapun meyakini bahwasanya sebagian mereka lebih afdhal daripada sebagian yang lain maka inilah yang ditunjukkan oleh dalil.
وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ
Dan ketika datang Musa, لِمِيقَاتِنَا mendatangi mīqat Kami yaitu tempat perjanjian antara Allah subhanahu wata’ala dengan Musa ‘alaihissalam, dan Rabb nya berbicara kepadanya.
Ini jelas menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala berbicara kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dan menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala berbicara kapan saja Allah subhanahu wata’ala menghendaki, disini Allah subhanahu wata’ala berbicara waktunya adalah ketika Musa datang dan Allah subhanahu wata’ala berbicara kepada siapa yang Dia kehendaki, dan dengan cara yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki dengan suara yang keras atau dengan suara yang rendah, dan isinya juga sesuai dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]