Halaqah yang ke-167 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Beliau mengatakan
Dan telah tetap dengan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ini masih berkaitan dengan sebelumnya yang menunjukkan tentang bahwasanya mereka memiliki kebaikan yang banyak
bahwasanya mereka adalah sebaik-baik generasi, sebagaimana dalam hadits
Sebaik-baik manusia adalah yang ada di dalam generasiku, yaitu para sahabat
kemudian yang setelahnya kemudian yang setelahnya.
Sebaik-baik manusia di dalam ilmu mereka di dalam amalan mereka di dalam ketakwaan mereka di dalam keimanan mereka, mereka adalah khairunnas tentunya orang yang demikian pahalanya lebih besar daripada yang lain
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah orang yang paling bertakwa, dan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu mereka adalah sebaik-baik manusia di dalam ketakwaan di dalam keimanan
Dan bahwasanya satu mud dari salah seorang diantara mereka apabila dia bersedekah dengannya (satu mud makanan atau satu mud emas sebagaimana telah berlalu penjelasannya)
Niscaya satu mud yang dia infaqkan tadi berupa makanan ini lebih afdhal daripada satu gunung uhud emas yang di infaqkan oleh salah seorang diantara kaum muslimin yang datang setelah para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Ini menunjukkan tentang bagaimana kebaikan yang dimiliki oleh para sahabat, mereka bukan hanya berinfaq dengan satu mud, kadang satu karung kurma misalnya atau seperti Utsman radhiyallahu ta’ala ‘anhu ketika Perang Tabuk berapa harta yang dikeluarkan untuk kaum muslimin ada sebagian yang menghitung karena disebutkan beliau menginfaqkan apa saja, berapa jumlah untanya dan seterusnya, kalau dihitung di zaman sekarang mungkin bisa sampai puluhan miliar, itu kalau dihitung dibandingkan dengan uang yang ada di zaman sekarang harta yang beliau infaqkan saat itu bisa sampai miliaran.
Satu mud saja kita tidak bisa menyayangi lalu bagaimana dengan milyaran yang mereka infaqkan fī sabīlillah, belum infaqnya Abu Bakar Ash-Shiddiq belum infaqnya Khadijah, Abdurrahman ibn Auf Utsman bin Affan yang mereka adalah para aghniya’ushshahabah. Dan yang miskin atau yang sedang diantara mereka juga tidak kalah dalam berlomba dalam bershadaqah sesuai dengan kemampuan mereka, kalau memang ada diantara mereka yang melakukan kesalahan dan juga dosa kebaikan mereka jauh lebih besar yang dengannya Allah subhanahu wata’ala menghapuskan dosa-dosa mereka, sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghilangkan kejelekan-kejelekan.
Kemudian seandainya keluar dari salah seorang di antara mereka dosa, seandainya memang benar mereka melakukan dosa kenyataan mereka melakukan dosa
maka dia telah bertaubat darinya, dan ini banyak, dan tidak heran kalau para sahabat melakukan yang demikian karena mereka orang yang lebih takut kepada Allah subhanahu wata’ala sehingga tentunya mereka lebih bersegera dalam bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, tidak mengundur-ngundur dan tidak menunda-nunda taubat mereka.
Jadi seandainya memang itu adalah dosa sebuah kesalahan yang dilakukan oleh seorang sahabat maka banyak diantara mereka yang bersegera melakukan taubat dan orang yang bertaubat itu seperti orang yang tidak punya dosa
orang yang bertaubat dari sebuah dosa maka ini seperti orang yang tidak punya dosa sama sekali.
Jadi kalau mereka sudah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala maka mereka seperti orang yang tidak punya dosa sama sekali, mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan termasuk diantaranya adalah bersegera dalam bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, ini sebuah kemungkinan, kemungkinan yang lain
Atau dia setelah itu melakukan kebaikan yang menghapuskan dosanya, wallahu a’lam perbedaannya dengan yang tadi kalau tadi hasanahnya kebaikannya sebelum terjadinya dosa tadi, jadi ada diantara mereka yang melakukan kejelekan dan juga dosa diampuni oleh Allah subhanahu wata’ala dosa tadi karena sebab kebaikan sebelumnya, atau seperti di sini dia melakukan dosa setelah itu dia bartaubat atau dia melakukan kebaikan setelah itu yang menghapuskan dosanya
atau dia melakukan kebaikan-kebaikan yang menghapuskan dosa-dosa yang sebelumnya yang sudah dia kerjakan, mungkin dia berjihad kemudian dia meninggal fī sabīlillah, sebelumnya dia melakukan kesalahan tapi setelah itu dia melakukan kebaikan-kebaikan amal shaleh yang menjadikan Allah subhanahu wata’ala mengampuni dosanya tadi.
Atau diampuni dosanya oleh Allah subhanahu wata’ala
dengan sebab keutamaan-keutamaan dia, jadi bukan karena dia melakukan kebaikan yang baru tapi karena keutamaan yang dia miliki, sebagai Ahlul Badr misalnya seperti yang tadi kita sebutkan, sebagai orang yang mengikuti perang Badr yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wata’ala hendaklah kalian melakukan apa yang kalian inginkan sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa kalian.
Kalau memang dia tidak bertaubat misalnya dia tidak mendatangkan kebaikan setelahnya bisa juga dia diampuni oleh Allah subhanahu wata’ala dengan sebab syafa’at dari Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa di hari kiamat meminta kepada Allah subhanahu wata’ala setelah diizinkan oleh Allah subhanahu wata’ala meminta kepada Allah subhanahu wata’ala untuk supaya mengeluarkan si fulan atau mengampuni si fulan. Mungkin di sini بِشَفَاعَةِ ini diathafkan ke بِفَضْلِ jadi أَو غُفِرَ لَهُdiampuni dengan sebab keutamaan dia atau dengan sebab syafa’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Dimana mereka yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak dengan syafa’atnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi kalau dibandingkan antara para sahabat dan kita orang yang datang setelah para sahabat tentunya para sahabat lebih berhak, kalau kita umatnya berhak untuk mendapatkan syafa’at maka para sahabat itu lebih berhak karena mereka yang bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pertama kali beriman dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan menolong Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabar bersama Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berdakwah dan berjuang fī sabīlillah, jadi seandainya kaum muslimin mereka mendapatkan syafa’at maka para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum merekalah yang lebih berhak.
Jadi sebagaimana kaum muslimin mereka mendapatkan syafa’at dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka orang yang bersama Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dahulunya yang membantu Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menolong Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ikhlas berjihad fī sabīlillah tentunya mereka lebih berhak untuk mendapatkan syafa’atnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka yang lebih bertauhid mereka lebih ikhlas dan lebih bertauhid daripada kita dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan ketika ditanya oleh Abu Hurairah
Siapa orang yang paling bahagia dengan syafa’atmu wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Orang yang mengatakan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ikhlas dari hatinya, orang yang paling ikhlas mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ yaitu mereka para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum jami’an. Maka mereka adalah orang yang paling ikhlas dan merekalah orang yang paling menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan jiwa dan raga mereka, seandainya ada dosa yang mereka lakukan
atau kalau misalnya mereka atau ada salah seorang diantara mereka yang berdosa meskipun dia tidak melakukan kebaikan misalnya tapi ternyata ada yang menjadi sebab diampuni dosa tersebut yaitu mereka diuji dengan sebuah ujian di dunia yang dengan ujian tadi diampuni dosa yang telah dilakukan sebelumnya, mungkin ada diantara mereka yang dikepung dan dibunuh ada di antara mereka yang dibunuh ketika dia akan berangkat shalat misalnya didzhalimi, mungkin ada diantara mereka yang diuji oleh Allah subhanahu wata’ala dengan ujian seperti itu di dunia sehingga Allah subhanahu wata’ala mengampuni dosanya dengan sebab ujian tadi, karena disebutkan dalam hadits bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
Tidaklah menimpa seseorang yang beriman berupa sakit (karena penyakit tertentu / sakit sebagian anggota badannya) dan tidaklah dia tertimpa rasa capek dan penyakit tertentu dan tidak pula rasa sedih sampai perasaan resah yang menimpanya (rasa sedih yang menimpa seseorang rasa resah yang menimpa seseorang atau capek yang menimpa seseorang) kecuali Allah subhanahu wata’ala akan menjadikan itu sebagai penebus kesalahan-kesalahannya.
Ini menunjukkan bahwasanya musibah yang menimpa seseorang kesusahan yang menimpa seseorang maka ini bisa menjadi sebab dihapuskannya dosa termasuk diantaranya para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum, banyak diantara mereka yang mendapatkan ujian dari Allah subhanahu wata’ala musibah dari Allah subhanahu wata’ala mungkin terkena tho’un atau terbunuh atau terluka maka dengan sebab itu Allah subhanahu wata’ala mengampuni dosa mereka.