Halaqah yang ke-132 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Beliau mengatakan rahimahullah
وَتُؤْمِنُ الْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Dan al-firqoh an-najiyah (golongan yang selamat) ahlussunnah wal jamaah, golongan yang selamat dan sudah berlalu pengertiannya karena mereka selamat dari perpecahan dan selamat dari neraka sebagaimana dalam hadits iftiraqul ummah dan nama lain mereka adalah ahlu sunnah wal jamaah orang yang sangat dekat dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka adalah Ahlul Ijtima’ mereka adalah orang yang ahli dan menyeru kepada persatuan yaitu bersatu diatas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, golongan yang selamat ini yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali satu golongan yaitu golongan yang selamat, di antara akidah mereka adalah beriman dengan takdir.
Sekarang beliau sedang membahas tentang aqidah al-firqoh an-najiyah sebagaimana diawal kitab ini i’tiqad al-firqoh an-najiyah aqidah dari al-firqoh an-najiyah, di antara akidah/keyakinan mereka adalah beriman dengan taqdir yang baik maupun yang buruk sebagaimana hal ini datang dalilnya dari Al-Qur’an maupun dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam Al-Qur’an Allah subhanahu wata’ala mengatakan
إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍ
Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar (takdir), menunjukkan tentang bahwasanya Allah subhanahu wata’ala telah mentakdirkan segala sesuatu sebelum Allah subhanahu wata’ala menciptakan, apa saja baik itu berupa zat yang diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala maupun sifat yang diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala pelakunya maupun apa yang dia lakukan maka itu semua adalah diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala itu adalah ciptaan Allah subhanahu wata’ala maka itu tercipta dengan taqdir, dan Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَخَلَقَ كُلَّ شَيۡءٖ فَقَدَّرَهُۥ تَقۡدِيرٗا ٢
[Al-Furqan]
Dan Dia menciptakan segala sesuatu maka Allah subhanahu wata’ala mentakdirkan dengan sebenar-benarnya, taqdīran disini adalah untuk menguatkan, Allah subhanahu wata’ala menentukan/mentakdirkan dengan sebenar-benarnya sungguh-sungguh ditentukan oleh Allah subhanahu wata’ala, dan Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ قَدَرٗا مَّقۡدُورًا ٣٨
[Al-Ahzab]
Dan perkara Allah subhanahu wata’ala itu adalah ketentuan yang sudah ditakdirkan.
Adapun dari sunnah maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam sebuah hadits yaitu hadits Jibril yang masyhur ketika ditanya oleh Malaikat Jibril ‘Alaihissalam
فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ
kabarkan kepadaku tentang Iman, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
engkau beriman kepada Allah subhanahu wata’ala malaikat-malaikat-Nya kitab-kitab-Nya rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk, hadits ini Shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim menunjukkan tentang bahwa di antara rukun iman yang enam adalah beriman dengan takdir Allah subhanahu wata’ala yang baik maupun yang buruk, dan ini yang dibawakan lafadznya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
demikian diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan dalam hadits yang lain, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
كل شيء بقدر حتى العجز والكيسز
Segala sesuatu adalah dengan takdir sampai lemahnya seseorang atau ketidakmampuan seseorang dan juga kecerdasannya, ketika dia tidak mampu maka itu adalah dengan takdir Allah subhanahu wata’ala dan ketika dia memiliki kecerdasan mudah menerima mudah memahami maka ini juga takdir dari Allah subhanahu wata’ala, Allah subhanahu wata’ala yang telah menakdirkan dia sehingga dia mampu untuk memahami, hadits ini Shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Selain berdasarkan Al-Qur’an dan hadits ijma’ kaum muslimin menunjukkan tentang wajibnya beriman dengan takdir ini, diantara yang menukil tentang ijma’ ini adalah Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau mengatakan
وَقَدْ تَظَاهَرَتِ الْأَدِلَّةُ الْقَطْعِيَّاتُ مِنَ الْكِتَابِ وِالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ وَأَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ عَلَى إِثْبَاتِ قَدَرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
Dan telah banyak dan saling menguatkan dalil-dalil yang pasti baik dari Al-Qur’an dan juga Sunnah dan ijma’ para sahabat dan para ulama dari kalangan Salaf dan juga khalaf (yang terdahulu maupun yang mutaakhirīn) semuanya bersepakat atas penetapan takdir Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang mereka memang berpegang teguh dengan sunnah berpegang dengan ayat ini berpegang dengan hadits ini berpegang dengan ijma’ yang semuanya menunjukkan tentang kewajiban beriman dengan takdir Allah subhanahu wata’ala.
Al-Qadar secara bahasa artinya adalah menentukan, dan ketika membicarakan tentang masalah Al-Qadha dan Al-Qadar ada yang mengatakan bahwasanya Al-Qadha dan Al-Qadar ini termasuk lafadz yang apabila berkumpul mereka memiliki makna yang berbeda dan kalau dia berpisah maka menunjukkan yang lain, kalau berkumpul Al-Qadha dan Al-Qadar maka makna dari Al-Qadar adalah menentukan, Allah subhanahu wata’ala menentukan sesuatu sebelum terjadi.
Adapun Al-Qadha dari kata قضى – يقضي, apa yang sudah dilaksanakan apa yang sudah terjadi dari apa yang sudah ditentukan oleh Allah subhanahu wata’ala sebelumnya, berarti dari sini kita mengetahui bahwasanya Al-Qadar ini lebih dahulu daripada Qadha, kalau belum terjadi berarti ini baru Qadar kalau sudah terjadi maka Qadha sudah terjadi sudah dilaksanakan, ada yang mengatakan demikian.
Namun kalau dia dipisahkan maka dia mencakup yang lain, kalau disebutkan Qadar saja berarti mencakup yang belum terjadi maupun yang sudah terjadi, kalau disebutkan Qadha saja maka mencakup yang belum terjadi maupun yang sudah terjadi, berarti di sini kita memahami hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
أَنْ تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
engkau beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk, maka ini maksudnya adalah baik yang belum terjadi yang masih berupa ketentuan dari Allah subhanahu wata’ala maupun yang sudah terjadi.
Dan Al-Qadar disini maknanya adalah maqdur, Al-Qadar ini adalah mashdar dan sebagaimana kita tahu mashdar terkadang maknanya fi’ilnya dan terkadang maknanya adalah maf’ulnya, dan yang dimaksud disini adalah maf’ulnya Al-Qadar bimakna al-maqdur apa yang Allah subhanahu wata’ala taqdirkan, dan bukan maksudnya adalah fi’ilnya karena kalau fi’il maka ini adalah sifat Allah subhanahu wata’ala, kalau dia adalah fi’il Allah subhanahu wata’ala mentakdirkan maka yang namanya sifat Allah subhanahu wata’ala tidak ada disana yang jelek, sifat Allah subhanahu wata’ala semuanya adalah baik, tapi yang dimaksud dengan Al-Qadar disini adalah al-maqdur yang ditakdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala.
Maka yang ditakdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala ada diantaranya yang khoir yang merupakan kenikmatan membuat senang manusia membuat bahagia manusia mungkin mendapatkan nikmat harta mendapatkan nikmat anak. Dan disana ada yang ditakdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan dia buruk menjadikan sedih seseorang menjadikan dia resah menjadikan dia takut maka ini adalah maqdur yang buruk, contoh misalnya kemiskinan atau diganggu oleh orang musibah baik berupa hartanya musibah dalam fisiknya yang baik maupun yang buruk maka semuanya adalah takdir Allah subhanahu wata’ala.
Ketika seseorang mendapatkan kenikmatan itu adalah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala, sudah Allah subhanahu wata’ala tentukan sebelum terjadinya dan terjadi dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala demikian pula ketika dia mendapatkan musibah baik yang menimpa kehormatannya atau fisiknya atau hartanya maka itu juga berasal dari Allah subhanahu wata’ala, Allah subhanahu wata’ala yang telah mentakdirkan sebelumnya dan Allah subhanahu wata’ala yang menghendaki terjadi, al-qadar disini baik sebelum terjadinya maupun setelah terjadinya. Maka seorang ahlus sunnah wal jama’ah seorang muslim seorang yang beriman, beriman dengan takdir Allah subhanahu wata’ala, apa yang terjadi di permukaan bumi baik kenikmatan maupun musibah maka semuanya adalah sudah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala berdasarkan ayat-ayat hadits dan juga ijma’.
Kedudukan iman dengan takdir Allah subhanahu wata’ala ini adalah kedudukan yang tinggi, selain dia adalah merupakan satu diantara rukun iman yang tidak sah apabila salah satu rukun ini tidak diimani maka tidak sah keimanan seseorang. Kemudian juga beriman dengan takdir Allah subhanahu wata’ala ini adalah termasuk bagian dari mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala didalam masalah rububiyah dan juga sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala karena didalam takdir nanti akan disebutkan beriman dengan takdir adalah beriman dengan ilmu Allah subhanahu wata’ala, berarti diantara sifat Allah subhanahu wata’ala adalah Ilm, beriman dengan takdir adalah beriman dengan penulisan dan ini adalah termasuk sifat Allah subhanahu wata’ala, kehendak dan juga penciptaan Allah subhanahu wata’ala ini adalah termasuk rububiyah Allah subhanahu wata’ala, Allah subhanahu wata’ala yang menghendaki Allah subhanahu wata’ala yang menciptakan.
Beriman dengan takdir Allah subhanahu wata’ala ini adalah termasuk tauhid, orang yang tidak beriman dengan takdir Allah subhanahu wata’ala orang yang mengingkari ilmu misalnya berarti ini ada cacat dalam masalah menetapkan sifat Allah subhanahu wata’ala, orang yang mengingkari penciptaan Allah subhanahu wata’ala berarti cacat di dalam masalah tauhid rububiyahnya sehingga di sini kita mengetahui hubungan yang erat antara beriman dengan takdir Allah subhanahu wata’ala dengan beriman dengan rububiyah dan juga nama serta sifat Allah subhanahu wata’ala.
Sehingga tidak heran apabila Abdullah ibn Abbas beliau mengatakan
الْقَدَرُ نِظَامُ التَّوْحِيدِ
Al-Qadar itu adalah aturan dari tauhid, maksudnya adalah orang yang beriman dengan takdir itu akan menjadikan teratur dan lurus tauhidnya, dia adalah aturan tauhid, ingin beres tauhid kita maka harus menyempurnakan keimanannya terhadap takdir Allah subhanahu wata’ala. Kemudian beliau mengatakan
فَمَنْ وَحَّدَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَآمَنَ بِالْقَدَرِ فَهِيَ الْعُرْوَةُ الْوُثْقَى الَّتِي لا انْفِصَامَ لَهَا
Barangsiapa yang mengesakan Allah subhanahu wata’ala dan beriman dengan takdir maka ini adalah tali yang kuat yang tidak akan lepas
وَمَنْ وَحَّدَ اللَّهَ تَعَالَى وَكَذَّبَ بِالْقَدَرِ نَقْضَ التَّوْحِيدَ
Dan barangsiapa yang mengesakan Allah subhanahu wata’ala tetapi dia mendustakan takdir maka dia telah membatalkan tauhidnya.
Lihat bagaimana hubungan antara beriman dengan takdir dan beriman dengan tauhid Allah subhanahu wata’ala, beriman dengan takdir adalah termasuk beriman qudratullah (kemampuan Allah subhanahu wata’ala) dan barangsiapa yang tidak beriman dengan takdir maka dia tidak beriman dengan qudratullah, Allah subhanahu wata’ala mampu untuk mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya, Allah subhanahu wata’ala mampu untuk menulis segala sesuatu sebelum terjadinya segala sesuatu adalah dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala, Allah subhanahu wata’ala mampu menciptakan segala sesuatu, ini semua berkaitan dengan qudratullah.
Orang yang mengingkari 4 derajat takdir disini berarti dia mengingkari qudratullah dan ini adalah perkara yang berbahaya, sehingga seorang salaf Zaid ibn Aslam beliau mengatakan
القدر قدرة الله
Al-Qadar itu adalah kemampuan Allah subhanahu wata’ala
فمن كذب بالقدر فقد جحد قدرة الله عز وجل
maka barangsiapa yang mendustakan takdir maka sungguh dia telah mengingkari qudratullah, dia mengingkari kemampuan Allah subhanahu wata’ala. Disini kita mengetahui bahayanya orang yang mendustakan takdir Allah subhanahu wata’ala.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]