Halaqah yang ke-140 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Beliau mengatakan rahimahullah
ولِلْعِبَادِ قُدْرَةٌ عَلَى أَعْمَالِهِمْ
kembali beliau menjelaskan tentang keyakinan ahlussunnah dan kebatilan madzhab/aliran al-jabriyah yang mereka berlebihan dalam menetapkan af’alullah, dan para hamba mereka memiliki qudroh (kemampuan) untuk melakukan amalan mereka, Allah subhanahu wata’ala berikan mereka kemampuan, kalau jabriyah mengatakan hamba itu tidak memiliki kemampuan Allah subhanahu wata’ala yang menggerakkan, mereka tidak memiliki qudrah dan mereka tidak memiliki iradah padahal Allah subhanahu wata’ala mengatakan
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
[Al-Baqarah:286]
Allah subhanahu wata’ala tidak membebani sebuah jiwa kecuali dengan kemampuannya, berarti dia punya qudrah
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ…
[At-Taghabun:16]
Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala sesuai dengan kemampuan kalian, berarti kita punya kemampuan (qudrah)
وَلَهُمْ إِرَادَةٌ
dan Allah subhanahu wata’ala memberikan kepada mereka iradah ini, kita punya kekuatan kemampuan dan Allah subhanahu wata’ala berikan dalam diri kita iradah kita punya keinginan ingin makan ingin minum ingin tidur ingin shalat ingin puasa Allah subhanahu wata’ala berikan dalam hati kita iradah dan ini adalah bantahan kepada jabriyyah yang mereka menafikan iradan dan qudrah dari seorang hamba, kita ini seperti wayang yang digerakkan oleh dalang tidak ada iradah tidak qudrah atau seperti pohon yang ditiup angin dia bergerak kemana angin tersebut bergerak ke arah angin tersebut bergerak, ini keyakinan jabiyyah padahal Allah subhanahu wata’ala mengabarkan kita ini punya qudrah dan Allah subhanahu wata’ala mengabarkan kita ini punya iradah (keinginan), siapakah yang menciptakan qudrah dan iradah yang ada pada diri kita, Allah subhanahu wata’ala
وَاللهُ خَالِقُهُمْ وَقُدْرَتَهُمْ وَإِرَادَتَهُمْ
Allah subhanahu wata’ala yang menciptakan mereka dan Allah subhanahu wata’ala yang menciptakan kekuatan mereka kemampuan mereka dan Allah subhanahu wata’ala lah yang menciptakan keinginan yang ada pada hati mereka, jangan mengira mereka punya qudrah sendiri punya iradah sendiri, dan ini bantahan kepada qadariyyah juga karena qadariyyah mereka meyakini mereka sendirilah yang menciptakan amalan-amalan tersebut, mereka yang menciptakan qudrah mereka, mereka yang menciptakan iradah mereka dan ini salah karena yang menciptakan qudrah dan iradah mereka adalah Allah subhanahu wata’ala
كَمَا قَالَ تَعَالَى
sebagaimana Firman Allah subhanahu wata’ala
لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ وَمَا تَشَاؤُونَ إِلاَّ أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
[At-Takwir 28-29]
bagi siapa diantara kalian yang ingin istiqamah, berarti Allah subhanahu wata’ala menetapkan iradah bagi makhluk, bagi siapa diantara kalian yang ingin istiqamah berarti makhluk punya keinginan, ini bantahan kepada jabriyyah
وَمَا تَشَاؤُونَ إِلاَّ أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Dan tidaklah kalian menghendaki kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wata’ala Rabbul ‘alamīn, apa yang kalian kehendaki itu dibawah kehendak Allah subhanahu wata’ala, tidaklah kalian menghendaki kecuali apa yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki artinya apa yang kita kehendaki seandainya terjadi itu memang dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala, Allah subhanahu wata’ala yang menghendaki terjadi, jadi kehendak kita senantiasa berada dibawah kehendak Allah subhanahu wata’ala sehingga kadang kehendak kita terjadi kalau memang Allah subhanahu wata’ala menghendaki dan terkadang kehendak kita tidak terjadi.
Kita ingin dan berkehendak anak kita shaleh tapi Allah subhanahu wata’ala menghendaki tidak shaleh maka tidak shaleh, menunjukkan bahwasanya kehendak kita itu berada dan senantiasa berada di bawah kehendak Allah subhanahu wata’ala, ini bantahan terhadap qadariyyah, berarti ayat ini meskipun dengan lafadz yang singkat tapi dia membantah dua aliran besar dalam masalah qadar, membantah jabriyyah dan juga membantah al-qadariyyah.
وَهَذِهِ الدَّرَجَةُ مِنَ الْقَدَرِ يُكَذِّبُ بِهَا عَامَّةُ الْقَدَرِيَّةِ
Dan derajat dari beriman dengan takdir ini (yang mencakup dua perkara yaitu al-masyi’ah dengan al-qudrah) didustakan/diingkari oleh seluruh qadariyyah, jadi orang-orang qadariyyah dinamakan dengan qadariyyah karena mereka mengingkari takdir Allah subhanahu wata’ala, untuk masalah masyi’ah dengan al-qudrah ini semuanya mereka mengingkari baik yang ghulat (yang berlebihan) maupun yang sedang-sedang saja
الَّذِينَ سَمَّاهُمُ النَّبِيُّ : مَجُوسَ هَذِهِ الأُمَّةِ
tapi kalau yang ghulat/berlebihan sudah kita sampaikan mereka mengingkari sampai masalah ilmu mereka ingkari, kalau qadariyyah yang sedang masalah ilmu al-kitabah mereka yakini tapi masalah al-lhalq wal masyi’ah mereka mengingkari, yang diberi nama oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan majusinya umat ini. Di dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ
Orang-orang qadariyyah itu adalah majusinya umat ini
إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تشهدوهم
kalau mereka sakit maka jangan didatangi/dijenguk dan kalau mereka mati maka jangan kalian saksikan jenazahnya, berarti dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya mereka ini adalah orang majusinya umat ini karena mereka serupa dengan orang majusi dalam hal takdir ini. Orang-orang majusi meyakini bahwasanya yang menciptakan itu ada dua, An-Nur wa Dzulma cahaya dan juga kegelapan, cahaya ini yang menciptakan kebaikan-kebaikan adapun kegelapan maka ini yang menciptakan seluruh kejelekan, pencipta menurut mereka dua.
Orang-orang qadariyyah juga demikian meyakini adanya dua pencipta, pertama yang menciptakan dzat mereka adalah Allah subhanahu wata’ala itu mereka meyakini, tapi yang menciptakan perbuatan mereka mereka meyakini mereka sendirilah yang menciptakan, berarti mereka meyakini adanya dua pencipta sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan mereka ini adalah orang majusinya umat ini. Hadits ini Hasan di diriwayatkan oleh Abu Dawud dan juga yang lain. Kemudian beliau mengatakan
وَيَغْلُو فِيهَا قَومٌ مِنْ أَهْلِ الإثْبَاتِ، حَتَّى سَلَبُوا الْعَبْدَ قُدْرَتَهُ وَاخْتِيَارَهُ
dan telah berlebihan di dalam derajat ini (فِيهَا disini adalah kembali kepada derajat ini yaitu masalah masyi’ah dan juga penciptaan/qudroh) sebagian kaum dari ahlul itsbat (yaitu orang-orang yang menetapkan takdir bagi Allah subhanahu wata’ala, itsbat menetapkan dan yang dimaksud dengan menetapkan disini adalah menetapkan takdir bagi Allah subhanahu wata’ala) sampai dia mengingkari/menafikan dari seseorang qudrah dan juga pilihannya, jadi seseorang itu tidak memiliki qudrah/kekuasaan dan dia tidak memiliki pilihan dan ini adalah keyakinan orang-orang jabriyyah, berlebihan dalam menetapkan takdir atau derajat masyi’ah dan juga qudratullah sampai mereka menafikan dari seorang hamba qudrahnya dan juga pilihannya, dia tidak punya pilihan dan tidak punya qudrah.
وَيُخرِجُونَ عَنْ أَفْعَالِ اللهِ وَأَحْكَامِهِ حُكْمَهَا وَمَصَالِحَهَا
Dan mereka mengeluarkan dari perbuatan Allah subhanahu wata’ala dan juga hukum-hukum Allah subhanahu wata’ala hikmah hikmahnya dan juga maslahat-maslahatnya, mengeluarkan dari perbuatan Allah subhanahu wata’ala bahwasanya perbuatan Allah subhanahu wata’ala itu tidak ada hikmahnya jangan dicari-cari hikmahnya, mereka meyakini bahwasanya perbuatan Allah subhanahu wata’ala itu tidak mengandung hikmah jangan dicari-cari hikmahnya, Allah subhanahu wata’ala melakukan hanya dengan masyi’ah saja tanpa memperhatikan hikmahnya tidak ada hikmahnya.
وَمَصَالِحَهَا
dan mereka menafikan dari perbuatan-perbuatan Allah subhanahu wata’ala dan hukum-hukum yang Allah subhanahu wata’ala keluarkan dalam syariatnya itu hanyalah sekedar masyi’ah/kehendak saja dan mereka berlebihan dalam menetapkan masyi’ah ini tapi tidak ada di sana maslahat, di dalam syariat Allah subhanahu wata’ala di dalam perintah Allah subhanahu wata’ala dalam larangan Allah subhanahu wata’ala tidak ada maslahatnya tidak ada hikmahnya, itu hanyalah masyi’ah saja, maka ini adalah keyakinan orang-orang jabriyyah.
Adapun Ahlus Sunnah maka mereka meyakini bahwasanya apa yang Allah subhanahu wata’ala lakukan semuanya pasti ada hikmahnya dan apa yang yang ada dan disyariatkan oleh Allah subhanahu wata’ala berupa hukum-hukum pasti disana ada hikmah ada maslahat, diantara nama Allah subhanahu wata’ala adalah Al-Hakim Yang Maha Bijaksana dan af’alullah adalah sifatullah dan sifat Allah subhanahu wata’ala semuanya adalah ulya, semuanya adalah mulia semuanya adalah yang terbaik yang paling tinggi, Allah subhanahu wata’ala tidak melakukan sesuatu dalam keadaan sia-sia, semuanya adalah dengan hikmah tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan Allah subhanahu wata’ala dan tidak ada yang sia-sia di dalam hukum Allah subhanahu wata’ala.
Dan bagi orang yang mempelajari agama ini dan mentadaburi bagaimana Allah subhanahu wata’ala mensyariatkan qishas mensyariatkan shalat mensyariatkan puasa orang akan mengetahui tentang hikmah yang sangat dalam di dalam penciptaan Allah subhanahu wata’ala di dalam hukum-hukum yang Allah subhanahu wata’ala turunkan.
Orang-orang jabriyyah tidak meyakini demikian, jadi Ini semua adalah dengan masyi’ah Allah subhanahu wata’ala saja tidak ada hikmahnya Allah subhanahu wata’ala menciptakan perzinahan menciptakan orang yang berzina menciptakan kekufuran, kenapa ini dijadikan kufur kenapa ini dijadikan musyrik mereka mengatakan jangan tanya hikmahnya ini tidak ada hikmahnya, semuanya adalah masyi’atullah, Allah subhanahu wata’ala menghendaki demikian ya sudah tidak ada hikmahnya.
Ahlussunnah tidak, meyakini bahwasanya Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang memberikan hidayah dengan karunia-Nya dan Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang menyesatkan sebagian karena keadilan-Nya, tidak ada diantara mereka yang didzhalimi oleh Allah subhanahu wata’ala.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]