Halaqah yang ke-23 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Kemudian tentang masalah tawakal kepada Allah subhanahu wata’ala, dan makna tawakal adalah al-i’timad yaitu menyandarkan diri. Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لا يَمُوت
Kalau ingin bersandar, bergantung, yaitu bergantung dalam mendatangkan manfaat dan dalam menolak mudhorat. Kita dalam kehidupan kita sehari-hari, setiap hari ingin banyak mendapatkan manfaat, sesuatu yang bermanfaat bagi kita, masalah rezeki, masalah ilmu, masalah kemudahan dalam urusan. Dan dalam kehidupan sehari-hari kita juga ingin terhindar dari berbagai mudhorat, berbagai musibah, berbagai bencana baik yang kecil tertusuk duri misalnya atau terjatuh atau sampai musibah yang besar. Bertawakal artinya adalah bergantung dan bersandar dalam mendatangkan manfaat, dalam menolak mudhorot tadi.
Bertawakal-lah kepada Al-Hayyu Yang Maha hidup, yang kehidupan-Nya adalah kehidupan yang sempurna sebagaimana sudah kita singgung ketika kita menjelaskan tentang ayat kursiy, kehidupan yang sempurna berarti disitu mengandung sifat-sifat dzatiyah yang lain. Kehidupan yang sempurna berarti ilmunya sempurna, penglihatannya sempurna, pendengarannya sempurna, iradahnya sempurna, semua sifat-sifat ladzimah yang sempurna terkandung di dalam nama Allah subhanahu wata’ala Al-Hayyu.
Bertawakal-lah kepada Dzat Yang Maha Hidup, yang sewaktu-waktu dimanapun antum ingin mendapatkan manfaat tertolak mudhorot, maka Allah subhanahu wata’ala mampu untuk menolong antum, karena Dia-lah Yang Maha Hidup, Dia tidak tidur dan Dia-lah Yang Maha Hidup, Yang Maha Mampu. Maka seorang muslim kalau ingin bertawakal, bertawakal kepada Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Hidup, tidak boleh dia bertawakal kepada selain Allah subhanahu wata’ala, seperti yang dilakukan oleh sebagian, bertawakal kepada orang yang sudah meninggal dunia, bertawakal kepada Nabi, bertawakal kepada wali yang sudah meninggal dunia, maka bagaimana seseorang ridho bertawakal kepada dzat yang sudah meninggal dunia, sementara Allah subhanahu wata’ala mengatakan di sini
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَي
Bertawakal-lah kepada Dzat Yang Maha Hidup, bukan kepada amwats. Karena sebagian orang ketika dia ingin lulus ujian, ketika dia ingin tertolak dari corona misalnya, tawakalnya kepada wali yang sudah meninggal dunia. Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَي
Tawakal-lah kepada Dzat Yang Maha Hidup.
Kemudian Dzat Yang Maha Hidup tadi tidak akan meninggal dunia, berarti bertawakal dengan makhluk hidup tapi kalau dia akan meninggal dunia tidak boleh, wali yang sudah meninggal dunia tidak boleh kita bertawakal kepadanya, wali yang masih hidup juga akan meninggal berarti tidak boleh.
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لا يَمُوت
Tawakal-lah kepada Dzat Yang Maha Hidup yang tidak akan meninggal, kalau dia hidup dan akan meninggal tidak boleh, tawakal hanya kepada Allah subhanahu wata’ala. Barangsiapa yang bertawakal kepada selain Allah subhanahu wata’ala di dalam perkara yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah subhanahu wata’ala maka dia terjerumus ke dalam syirik yang besar. Dan sebagian mengatakan kalau dia bertawakal kepada selain Allah subhanahu wata’ala di dalam perkara yang dia memiliki kemampuan atau diberikan kemampuan oleh Allah subhanahu wata’ala, seperti misalnya orang yang bertawakal kepada majikannya misalnya karena dia punya uang, punya harta untuk membayar akhirnya dia bekerja di situ, tapi dia memiliki ketergantungan kepada majikan tadi, maka sebagian mengatakan ini masuk dalam syirik yang kecil, karena di situ makhluk tadi diberikan Allah subhanahu wata’ala kemampuan harta.
Tapi kalau dalam perkara yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah subhanahu wata’ala, seperti orang yang bertawakal kepada orang yang meninggal dunia jelas karena dia tidak mampu melakukan apa-apa atau bertawakal kepada makhluk dalam menurunkan hujan, berarti di sini bertawakal kepada makhluk dalam perkara yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah subhanahu wata’ala, hukumnya syirik besar.
Disana ada taukil yaitu mewakilkan kepada orang lain tentang sesuatu, misalnya mewakilkan orang lain untuk melamarkan atau mewakilkan orang lain untuk membeli sesuatu misalnya, ini namanya taukil, yang seperti ini tidak masalah seseorang mewakilkan ini bukan tawakal. Tawakal artinya adalah bergantung, bersandar, dalam mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot kepada yang lain.
Maka disini Allah subhanahu wata’ala menyuruh kita untuk bertawakal, bersandar dan bergantung hanya kepada Allah subhanahu wata’ala dalam urusan kita seluruhnya, dan orang yang bertawakal hanya kepada Allah subhanahu wata’ala memiliki keuntungan yang besar, pahala yang besar, disamping dia adalah ibadah, karena Allah subhanahu wata’ala memerintahkan di sini dan Allah subhanahu wata’ala mengatakan dalam ayat yang lain
وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
[Al-Ma’idah:23]
Dan hanya kepada Allah subhanahu wata’ala hendaklah kalian bertawakal kalau kalian benar-benar beriman.
Disamping kita mendapatkan pahala ibadah dari bertawakal kepada Allah subhanahu wata’ala, maka kita akan ditolong dan dicukupi oleh Allah. Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
[At-Talaq: 3]
Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah subhanahu wata’ala, yaitu bersandar bergantung kepada Allah subhanahu wata’ala, ini dalam seluruh perkara, antum bertawakal dalam masalah rezeki hanya kepada Allah subhanahu wata’ala, yakin bahwasanya Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang mendatangkan rizq dan Dia-lah yang menahan rizq, bukan bergantung kepada kecerdasan kita, pengalaman kita dalam bisnis misalnya, tapi kita berusaha dan berdagang atau berusaha apa saja untuk mendapatkan rezeki yang halal dan di dalam hati kita tawakal kita ketergantungan kita kuat kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka
فَهُوَ حَسْبُهُۥ
Allah subhanahu wata’ala yang akan mencukupi, dan kalau Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang mencukupi, siapa yang bisa menahan dan juga menolak kehendak Allah subhanahu wata’ala. Kalau kita bertawakal dalam masalah rezeki yaitu mengambil sebab, mungkin kita punya gerobak, kita mungkin punya barang dagangan, yang dilihat oleh orang barang dagangan yang sepele, tidak mendatangkan keuntungan yang besar misalnya, tapi dalam hati kita ada tawakal kepada Allah subhanahu wata’ala maka Allah subhanahu wata’ala akan memberikan kecukupan kepada kita, sebagaimana dalam hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang orang yang bertawakal hanya kepada Allah subhanahu wata’ala
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ
Kalau kalian benar-benar bertawakal kepada Allah subhanahu wata’ala dengan sebenar-benar tawakal. Bukan hanya sekedar ucapan, dalam hatinya benar-benar dia bertawakal kepada Allah subhanahu wata’ala, seperti tawakalnya para petani, bagaimana mereka bertawakal kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka menanam, menaruh benih, kemudian setelah itu mereka menunggu apa yang Allah subhanahu wata’ala lakukan, hujan, menunggu Rahmat dari Allah subhanahu wata’ala dan juga karunia dari Allah subhanahu wata’ala, dan menunggu karunia dari Allah subhanahu wata’ala bagaimana Allah subhanahu wata’ala menjaga tanaman-tanaman tersebut dari berbagai hal yang merusaknya. Kalau kalian benar-benar tawakal kepada Allah subhanahu wata’ala maka
لَرَزَقَكُمْ
Allah subhanahu wata’ala akan memberikan rezeki kepada kalian
كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ
Sebagaimana diberikan rezeki tersebut kepada burung. Bagaimana burung mendapatkan rezeki dari Allah subhanahu wata’ala?
تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
Pagi-pagi mereka keluar dari sarangnya dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan sudah penuh perutnya dengan makanan. Demikian Allah subhanahu wata’ala menjanjikan bagi orang-orang yang benar-benar bertawakal kepada Allah subhanahu wata’ala, jangan kita bertawakal kepada diri sendiri atau kepada pekerjaan kita bertawakal-lah hanya kepada Allah subhanahu wata’ala.
Dan apa yang dimaksud dengan tawakal di sini, apakah seseorang hanya bergantung dan bersandar dalam hatinya memiliki keyakinan dalam hatinya kemudian dia duduk manis tidak bekerja tidak berusaha, bukan itu yang dimaksud dengan tawakal. Tawakal yang sebenarnya adalah dengan seseorang dalam hatinya ada keyakinan yang kuat dan secara dhohir dia mengambil sebab sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala dan rasul-Nya perintahkan. Dia bekerja, dia berusaha, dia keluar dari rumahnya dan apa yang ada dalam hatinya adalah keyakinan yang kuat Allah subhanahu wata’ala yang akan memberikan rezeki.
Inilah yang dilakukan oleh burung, bagaimana burung bertawakal kepada Allah subhanahu wata’ala, apakah mereka diam di sarangnya dan menunggu ada beras yang terbang kemudian sampai ke sarangnya, tidak. Mereka meninggalkan sarangnya terbang dari pohon ke pohon dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari rezeki dan di dalam diri mereka keyakinan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang memberikan rezeki.
Demikian yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim, sehingga tidak heran kalau ada sebagian orang yang beriman, orang yang sholeh, mungkin kita lihat dia jualan di pinggir jalan perkara-perkara yang remeh, kalau kita pikir dapat berapa dia dalam sehari, seandainya itu laku semua berapa untungnya, tapi dia ada tawakal kepada Allah subhanahu wata’ala, dengannya Allah subhanahu wata’ala mencukupi dirinya dan juga keluarganya. Dan ada sebagian orang yang dia memiliki harta yang luar biasa tapi tidak pernah kenyang dan tidak pernah puas dengan apa yang dia miliki, bahkan bertambah kehidupannya ini dari kesengsaraan ke kesengsaraan yang lain. Jadi yang namanya tawakal harus disertai dengan kita mengambil sebab.
Sehingga di dalam hadits yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya oleh sebagian sahabah tentang dia memiliki unta dan dia meninggalkan unta tersebut dalam keadaan tidak diikat, hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani. Anas Bin Malik mengatakan
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ
Laki-laki ini mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku mengikatnya kemudian aku bertawakal, yaitu aku mengikatnya setelah itu aku bergantung dan bersandar kepada Allah subhanahu wata’ala, atau aku melepaskan dia begitu saja kemudian aku bergantung kepada Allah subhanahu wata’ala.
قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan اعْقِلْهَا ikatlah kemudian bertawakal-lah kepada Allah subhanahu wata’ala. Jadi kita ikat sesuai dengan kemampuan kita, kita ikat sekencang mungkin setelah itu jangan kita bertawakal kepada diri sendiri, kita serahkan kepada Allah subhanahu wata’ala, Allah subhanahu wata’ala yang akan menjaganya. Ini dalam masalah rezeki
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Demikian pula dalam masalah ilmu, dalam menuntut ilmu kita pun harus bertawakal hanya kepada Allah subhanahu wata’ala, ilmu adalah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi kita, maka dalam mendatangkan manfaat ini kita harus bertawakal dan bersandar, bergantung hanya kepada Allah subhanahu wata’ala. Jangan kita bergantung kepada diri kita sendiri, kita ingin menjadi seorang yang berilmu, ingin mendapatkan ilmu, ingin masuk ilmu tersebut kepada diri kita maka bertawakal-lah hanya kepada Allah subhanahu wata’ala
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah subhanahu wata’ala maka Dia-lah Allah subhanahu wata’ala yang akan memberikan kecukupan.
Allah subhanahu wata’ala yang akan menolong kita, memudahkan kita untuk mendapatkan ilmu-ilmu tersebut, memudahkan kita untuk memahami, memudahkan kita untuk membaca buku yang bermanfaat, memiliki teman-teman yang sholihin, memiliki guru yang bisa membimbing dalam menuntut ilmu tersebut.
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ Dalam seluruh perkara kita bertawakal kepada Allah subhanahu wata’ala, dalam ibadah kita, dalam menuntut ilmu, dalam dunia kita, dalam mendidik anak-anak juga demikian kita bertawakal hanya kepada Allah subhanahu wata’ala dan kita berusaha.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]