Materi HSI pada halaqah ke-24 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Qawaidul Arba adalah tentang penjelasan kaidah keempat kitab Qawaidul Arba’.
Kaidah yang ke empat (terakhir) dari empat kaidah yang dengannya kita bisa memahami apa itu kesyirikan.
Beliau mengatakan,
الْقَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ:
أَنَّ مُشْرِكِي زَمَانِنَا أَغْلَظُ شِرْكًا مِنَ الأَوَّلِينَ
“Ketahuilah, bahwasanya orang-orang musyrikin di zaman kita ini (dan beliau hidup 200 tahun yang lalu) lebih keras (dahsyat) kesyirikannya daripada orang-orang musyrikin zaman dahulu.”
Kenapa demikian?
لأَنَّ الأَوَّلِينَ يُشْرِكُونَ فِي الرَّخَاءِ، وَيُخْلِصُونَ فِي الشِّدَّةِ،
“Karena orang-orang musyrikin yang terdahulu, mereka menyekutukan Allah ketika dalam keadaan senang, bahagia, tenteram. Tetapi ketika mereka susah, mereka mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah.”
Ini adalah sifat orang-orang musyrikin zaman dahulu. Ketika mereka senang, bahagia, mereka menyekutukan Allah. Tetapi ketika mereka susah, terkena musibah, mereka mengikhlaskan ibadahnya hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian beliau mengatakan,
وَمُشْرِكُو زَمَانِنَا شِرْكُهُمْ دَائِمٌ فِي الرَّخَاءِ وَالشِّدَّةِ
“Adapun orang-orang musyrikin di zaman kita, kesyirikan mereka senantiasa dan selalu, baik ketika mereka dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah.”
Tentunya orang yang melakukan kesyirikan baik dalam keadaan susah maupun senang, ini lebih keras, lebih dahsyat, lebih besar, daripada orang yang menyekutukan Allah ketika dalam keadaan senang dan tidak dalam keadaan susah.
Oleh karena itu beliau mengatakan, orang-orang musyrikin di zaman kita lebih dahsyat kesyirikannya. Susah senang mereka berbuat syirik. Adapun zaman dahulu, melihat keadaan. Dalam keadaan senang menyekutukan Allah, dalam keadaan susah baru mereka ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalilnya apa?
Beliau mengatakan,
وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى
“Dan dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,”
فَإِذَا رَكِبُوا۟ فِی ٱلۡفُلۡكِ دَعَوُا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ إِذَا هُمۡ یُشۡرِكُونَ
[Surat Al-Ankabut 65]
“Apabila mereka berada di dalam kapal (sedang dalam perjalanan di laut menaiki kapal), mereka berdo’a kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama ini hanya untuk Allah.”
Ini yang mengabarkan kepada kita adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengabarkan tentang keadaan orang-orang musyrikin ketika mereka bepergian memakai kapal. Di tengah-tengah lautan, Allah mengabarkan, mereka berdo’a kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agamanya hanya untuk Allah.
Kita tidak pernah mendengar, tidak pernah melihat apa yang mereka lakukan di tengah lautan. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengar dan melihat apa yang mereka lakukan. Allah mengabarkan ternyata mereka mengikhlaskan ibadahnya hanya untuk Allah.
Di dalam ayat yang lain Allah mengabarkan, ketika mereka berada di tengah lautan, kemudian datang angin yang keras dan datang ombak yang sangat besar, mereka mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan mengatakan,
لَىِٕنۡ أَنجَیۡتَنَا مِنۡ هَـٰذِهِۦ لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّـٰكِرِینَ
[Surat Yunus 22]
“Ya Allah, seandainya Engkau menyelamatkan kami dari ini semua, niscaya kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”
Berjanji kepada Allah di tengah lautan, apabila mereka selamat sampai ke daratan, dan diselamatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya mereka akan menjadi orang-orang yang bersyukur.
Lupa mereka dengan Latta, lupa dengan ‘Uzza, Manaah, dan juga sesembahan-sesembahan lain selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang mereka ingat saat itu adalah Allah. Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang hanya bisa menyelamatkan mereka dari kesusahan saat itu.
Tapi apa kata Allah?
فَلَمَّا نَجَّىٰهُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ إِذَا هُمۡ یُشۡرِكُونَ
“Ketika Allah menyelamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka kembali menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Lupa dengan apa yang sudah dikatakan ketika mereka berada di tengah lautan.
Ayat ini adalah dalil sebagaimana disebutkan oleh pengarang bahwasanya orang-orang musyrikin, mereka mengikhlaskan ibadahnya ketika susah dan menyekutukan Allah ketika mereka dalam keadaan senang.
Adapun orang-orang musyrikin di zaman beliau, dan ini juga masih ada di zaman kita, dalam keadaan susah dan senang mereka tetap menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak jarang diantara mereka ketika datang musibah, bukan kembali dan meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi justru meminta kepada selain Allah.
Ketika gunung berapi akan meletus, atau ketika terjadi tsunami, kembalinya bukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meminta perlindungan dan penjagaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tetapi kembali kepada benda. Menaruh ini itu di rumah, atau datang kepada orang yang dinamakan dengan paranormal, atau orang yang sakti, dengan harapan mereka bisa menyelamatkan dari musibah-musibah tersebut.
Dalam keadaan susah pun mereka masih bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam keadaan senang juga.
Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh beliau pada kaidah yang ke empat ini adalah sesuatu yang berdasar dan bukan sesuatu yang mengada-ada. Bahwasanya orang-orang musyrikin di zaman kita lebih dahsyat daripada orang musyrikin yang ada di zaman dahulu.
Kemudian beliau mengatakan,
والله أَعلَم
“Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih mengetahui.”
***
[Disalin dari materi Halakah Silsilah Ilmiah (HSI) Abdullah Roy Bab Qawa’idul Arba’]