Home » Halaqah 33: Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Islam Syahadat Muhammad Rasulullah (Bagian 2)

Halaqah 33: Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Islam Syahadat Muhammad Rasulullah (Bagian 2)

Materi HSI pada halaqah ke-33 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah adalah tentang landasan kedua ma’rifatu dinil islam bil adillah dalil rukun Islam syahadat bagian 2.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di sini tentang sifat yang dimiliki Rasul tersebut,
عَزِیزٌ عَلَیۡهِ مَا عَنِتُّمۡ
[QS At-Taubah 128]
“Berat bagi beliau apa yang berat bagi kalian.”
Menjadikan Beliau berat, menjadikan Beliau sedih apa yang berat bagi kalian adalah sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bukan ingin memberatkan manusia dengan perintah-perintah, apa yang beliau sampaikan itu adalah dari Allah. Beliau tidak ingin memberatkan manusia dengan larangan-larangan tersebut.
Di dalam diri beliau ada perasaan berat bagi Beliau, apa yang memberatkan umatnya. Selama bisa meringankan beliau ringankan, meminta keringanan kepada Allah. Tapi kalau sudah mengetahui bahwasanya ada maslahat bagi manusia atau di dalamnya ada mudhorot bagi manusia, maka Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan dan Beliau melarang, sebagaimana amanat dari Allah Azza wa Jalla. Dan di situ ada kasih sayang yang hakiki karena seseorang dinamakan sayang yang sebenarnya apabila dia berkeinginan untuk menyampaikan mashlahat tersebut kepada orang, meskipun orang tersebut menganggap ini adalah berat dan juga mudhorot, tapi Beliau tau di dalamnya ada maslahat maka beliau sampaikan.
Kalau mereka benar-benar melaksanakan perintah tersebut maka mereka akan mendapatkan kebahagiaan. Maka ini adalah hakikat dari kasih sayang. Dan kalau tau di dalam sebuah perkara itu ada mudhorot maka menunjukan kasih sayang Beliau adalah ketika Beliau melarang manusia dari perbuatan tersebut, karena khawatir mereka terkena mudhorot dan ini juga termasuk hakikat dari kasih sayang yang sebenarnya.
Bukanlah yang dimaksud dengan kasih sayang yang sebenarnya adalah menuruti setiap kemauan orang yang kita sayangi, meskipun di situ ada mudhorotnya. Sebagaimana orang tua kita, ketika kita kecil dan kita belum sempurna akalnya terkadang kita minta sesuatu yang justru memberikan mudhorot bagi diri kita sendiri, baik berupa makanan, minuman, mainan, dst. Dan orang tua sangat menyayangi kita, tapi tidak semua permintaan kita kemudian diberikan.
Beliau melihat apa yang menjadi maslahat bagi kita dan apakah sesuatu yg diminta oleh diri kita itu adalah memberikan mudhorot atau tidak, itulah kasih sayang yang sebenarnya.
Bukan dengan senantiasa mengabulkan setiap yang diminta oleh yang disayangi.
Di samping perasaan berat apa yang berat bagi kita dan ini yang seharusnya dimiliki oleh seorang dai di dalam dakwahnya. Ketika dia berkecimpung di dalam dakwah mengajak manusia, memerintahkan, dan juga melarang maka hendaklah dia memiliki perasaan seperti ini.
Kemudian diantara sifat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah – حريص عليكم – semangat untuk memberikan hidayah kepada kalian, memiliki semangat yang tinggi, bagaimana dia itu bisa menjadi sebab manusia mendapatkan hidayah, sehingga melakukan apa yang Beliau mampu, kalau itu bisa mempermudah mereka memahami, Beliau variasikan bagaimana cara mengajarkan kepada manusia. Terkadang Beliau mengajar dengan contoh (dengan praktek secara langsung), karena diharapkan orang ketika melihat dia langsung faham apa yang dimaksud. Tata cara berwudhu, bagaimana tata cara shalat, dilihat oleh manusia beliau berusaha bagaimana mereka paham dengan cara mempraktikan secara langsung, ini adalah bentuk حرص ingin bagaimana manusia itu mendapatkan hidayah.
Terkadang beliau bertanya terlebih dahulu,
أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟
Tahukah kalian apa itu ghibah?
أَتَدْرُوْنَ ما المفلس؟
Dst
Beliau bertanya dengan maksud supaya menggerakan dan menghidupkan konsentrasi mereka. Ketika sudah siap baru diberikan jawabannya, ini diharapkan jawaban tadi membekas lebih lama di dalam hati mereka.
Ini adalah bagian dari –حرص – termasuk diantaranya do’a. Beliau mendoakan untuk sebuah kaum, mendoakan untuk afrod, individu diantara individu, individu para shahabat ini juga bagian dari – حرص – semangat bagaimana orang itu mendapatkan hidayah. Karena kalau orang lain mendapatkan hidayah selain orang tersebut akan bahagia di dunia dan juga di akhirat maka kita sebagai orang yang menjadi sebab juga akan mendapatkan pahalanya, manfaatnya juga untuk diri kita sendiri, di samping manfaatnya adalah untuk orang lain orang tersebut, kita juga akan mendapatkan manfaatnya.
مَنْ دَعَا إِلَى هُدىً كانَ لهُ مِنَ الأجْر مِثلُ أُجورِ منْ تَبِعهُ لاَ ينْقُصُ ذلكَ مِنْ أُجُورِهِم شَيْئًا رواهُ مسلمٌ.
“Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan/kepada petunjuk maka dia mendapatkan pahala orang yang mengikuti petunjuknya tadi, tidak akan dikurangi dari pahala mereka sedikit pun.”
Maka ini diantara yang menjadikan seseorang semangat terus untuk berdakwah, sampaikan terus, ingin supaya orang lain mendapatkan hidayah dan dia juga ingin mendapatkan pahala yang besar, karena ini adalah termasuk pintu diantara pintu-pintu, jalan diantara jalan-jalan untuk mendapatkan pahala yang terus mengalir selama ilmu tersebut diamalkan, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِذَا مَاتَ ابنُ آدم انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Diantaranya adalah ilmu yang diambil manfaatnya.
Kita ingin seperti para ulama yang mereka sudah meninggal ratusan tahun yang lalu dan sampai hari ini ilmu mereka terus dipelajari oleh manusia seakan-akan mereka masih hidup ditengah-tengah kita.
الذكر الجميل
Penyebutan yang indah bagi mereka, sum’ah yang toyyibah, dan ilmu yang bermanfaat yang terus kita rasakan, maka ini adalah kehidupan yang sebenarnya. Memang jasad mereka berada dalam tanah, namun nama mereka masih terus disebut-sebut oleh manusia dan pahala mereka terus mengalir.
Maka ini menjadi sebab diantara sebab para dai dan juga para ulama semangat mereka terus untuk menyampaikan sampai ketika mereka sudah tua sekalipun dan ini yang dilakukan oleh para masyaikh, tidak pernah mereka kendor dari mengajar kecuali memang sama sekali sudah tidak bisa untuk duduk, tidak bisa untuk berangkat.
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad jarang sekali beliau ghoib ketika mengajar di masjid Nabawi dari hari Sabtu sampai hari Kamis (libur hanya hari Jum’at saja) dari habis Magrib sampai Isya’.
Syaikh Abu Bakar Al Jazairy demikian pula beliau sudah lama sekali duduk dan mengajar di Masjid Nabawi kurang lebih 40 tahun beliau mengajar di Masjid Nabawi.
Demikian para ulama, karena ini adalah pintu yang kalau sudah dibukakan bagi seseorang maka ini adalah kenikmatan yang besar. Maka jangan sampai orang yang sudah diberikan ilmu kemudian dia sia-siakan. Hendaklah dia manfaatkan ilmu tersebut, disampaikan kepada orang lain, diajarkan kepada orang lain. Dan semangat kita untuk menyampaikan ini kepada orang lain.
Sifat yang selanjutnya bahwasanya Beliau adalah orang yang – رءوف – orang yang lembut, orang yang penyayang kepada orang-orang yang beriman. Jadi semangat untuk menyampaikan kepada orang lain diiringi dengan kelemah lembutan dan juga juga kasih sayang. Bukan semangat yang tidak dikontrol, karena ingin keluarganya mendapatkan hidayah, orang tuanya mendapatkan hidayah, kemudian dia sekedar sampaikan tetapi tidak berdasarkan kelemah lembutan.
Adapun Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam maka terkumpul di dalam diri Beliau, Beliau adalah seorang Rasul, seorang dai dan di dalam hatinya ada perasaan yang bersih, berat bagi Beliau apa yang berat bagi mad’u-nya, bukan ingin memberat-beratkan manusia.
Kemudian yang kedua ditambah lagi dengan semangat yang berkobar-kobar untuk menyampaikan ilmu ini kepada orang lain.
Ditambah lagi dengan ushlub dan metode dan cara yang lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang ketika Beliau menyampaikan ilmu ini kepada orang lain.
Kalau ini terkumpul pada diri seseorang, maka Insya Allah dia akan menjadi dai yang muwaffaq, yang mubarok yang diberkahi oleh Allah Azza wa Jalla. Dan ini perlu ijhtihad, perlu kita membersihkan diri, perlu kita berlatih, perlu kita muhasabah, dan juga merenung di dalam berdakwah, merenung apa niatnya untuk di dalam menyampaikan ilmu ini kepada orang lain, apa tujuannya berbicara, apa tujuannya dia menyampaikan khutbah. Maka dengan berlatih dan terus muhasabah diharapkan dia bisa meraih derajat yang tinggi di sisi Allah, ia menjadi seseorang dai yang memiliki sifat-sifat seperti yang dimiliki atau yang mendekati apa yang dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top