Halaqah yang ke-33 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Beliau mendatangkan ayat-ayat yang menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala memiliki sifat Al-Masyi’ah dan juga Al-Irodah.
وَقَوْلُهُ: فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ
Dan juga Firman Allah subhanahu wata’ala, maka barangsiapa yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki untuk diberikan hidayah maka Allah subhanahu wata’ala akan membuka dadanya untuk Islam.
Barangsiapa yang Allah subhanahu wata’ala ingin untuk memberikan petunjuk kepadanya, Allah subhanahu wata’ala jadikan dadanya yang biasanya inginnya menolak, inginnya membantah, inginnya katanya kritis, tapi Allah subhanahu wata’ala jadikan hatinya ini yasyraḥ, Allah subhanahu wata’ala bukakan dadanya untuk tunduk untuk mengikuti kebenaran. Kalau Allah subhanahu wata’ala menghendaki untuk memberikan hidayah kepada seseorang, dijadikan hatinya ini luas untuk menerima kebenaran.
Alhamdulillah yang telah meluaskan dada kita untuk beriman kepada Allah subhanahu wata’ala padahal kita tidak pernah melihat Allah subhanahu wata’ala, yang meluaskan dada kita untuk beriman dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam padahal kita hanya mendengar nama Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, mendengar sifat Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sampai kepada kita ucapan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kita tidak pernah melihat Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Siapa yang menjadikan dada-dada kita ini menjadi tunduk dan luas, Allah subhanahu wata’ala, Allah subhanahu wata’ala yang menghendaki.
Maka ihmadullah, maka pujilah Allah subhanahu wata’ala dan kita memuji Allah subhanahu wata’ala yang telah menghendaki untuk memberikan hidayah kepada kita, hamba Allah subhanahu wata’ala ini banyak, makhluk Allah subhanahu wata’ala ini banyak tapi Allah subhanahu wata’ala pilih, Allah subhanahu wata’ala kehendaki sebagiannya untuk dibuka dadanya, dilapangkan dadanya, maka jangan kita sia-siakan nikmat Allah subhanahu wata’ala ini. Bagaimana cara bersyukurnya, dengan mengamalkan agama ini dengan baik sesuai dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala inginkan, ini adalah nikmat Allah subhanahu wata’ala, Allah subhanahu wata’ala menghendaki itu nikmat sekali, Allah subhanahu wata’ala menghendaki kita untuk mendapatkan hidayah.
وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ
Barangsiapa yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki untuk menyesatkannya, berarti ini iradah kauniyah, yang pertama juga iradah kauniyah, terkadang iradah kauniyah berkaitan dengan kebencian Allah subhanahu wata’ala terkadang sesuatu yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala. Kita mendapatkan hidayah iradah kauniyah sekaligus iradah syar’iah, iradah kauniyah terjadi memang kita mendapatkan hidayah dan iradah syar’iah karena inilah yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala, dan barangsiapa yang Allah subhanahu wata’ala sesatkan, ada orang tersesat yang terjadi di sini adalah berkaitan dengan iradah kauniyah karena kesesatan tidak dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala tapi ini tidak berkaitan dengannya iradah syar’iah karena Allah subhanahu wata’ala tidak mencintai kesesatan.
Barangsiapa yang Allah subhanahu wata’ala menghendaki maksudnya adalah iradah kauniyah disini untuk menyesatkan dia
يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا
Allah subhanahu wata’ala akan menjadikan dadanya di sini menjadi sempit, menjadi sesak. Ketika ditawarkan Islam, ditawarkan tauhid, hatinya menjadi sempit ketika mendengar tentang tauhid, maunya datang ke wali, maunya bergantung kepada nyi Fulan kyai fulan, tenangnya ketika dia datang ke kuburan dan meminta-minta kepada ahlul kubur, sesak ketika mendengar dakwah tauhid, sesak ketika mendengar orang mengajak kepada sunnah, benci dengan orang yang mengajak kepada sunnah dan mungkin itu adalah keadaan kita dahulu, tapi karunia dari Allah subhanahu wata’ala kemudian Allah subhanahu wata’ala menghendaki untuk memberikan hidayah kepada kita ini adalah minna ini adalah karunia dari Allah subhanahu wata’ala
يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا۟ ۖ قُل لَّا تَمُنُّوا۟ عَلَىَّ إِسْلَٰمَكُم ۖ بَلِ ٱللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ لِلْإِيمَٰنِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
[Al-Hujurat:17]
Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang memberikan karunia kepada kita, karunia-Nya dan kelebihan-Nya dan keutamaan-Nya untuk kita
كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء
Seakan-akan dia seperti orang yang mau naik ke atas, naik kelangit. Bagaimanapun usaha kita tidak bisa, kita bukan malaikat yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala sayap sehingga dia bisa terbang dengan izin Allah كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء seakan-akan dia seperti orang yang naik ke atas, dalam keadaan susah sekali, dalam keadaan dia sesak. Alhamdulillah yang telah menghendaki untuk memberikan hidayah kepada kita.
ٱعْمَلُوٓا۟ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكْرًا ۚ
[Saba:13]
Hendaklah kalian beramal wahai keluarga Daud sebagai bentuk syukur kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Jelas disini menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala memiliki sifat iradah, ada sebagian orang yang Allah subhanahu wata’ala irodahkan Allah subhanahu wata’ala kehendaki untuk memberikan hidayah, ada di antara yang Allah subhanahu wata’ala kehendaki untuk disesatkan. Maka hati-hati dan hendaklah kita banyak membaca doa
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
Karena disebutkan dalam hadits bahwasanya hati manusia ini berada diantara dua jari di antara jari-jari Allah subhanahu wata’ala, Allah subhanahu wata’ala gerakan kapan saja Dia menghendaki, jangan sampai kita termasuk orang yang kufur dengan nikmat Allah subhanahu wata’ala, nikmat hidayah. Sudah tahu ilmunya, sudah tahu hidayah maka jalankanlah, pegang erat-erat, jangan kita sepelekan, jangan kita bermudah-mudahan, khawatirnya kalau kita tidak bersyukur nanti akan diambil oleh Allah subhanahu wata’ala. Ada yang mengatakan nikmat itu kalau disyukuri akan datang terus, akan ada terus dan kalau jadi kufur maka dia akan meninggalkan kita, dan makna ini ada dalam firman Allah subhanahu wata’ala
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
[Ibrahim:7]
Kalau kalian bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala niscaya kami akan menambahkan.
Kemudian setelahnya Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَقَوْلُهُ: ِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Dan juga firman Allah subhanahu wata’ala, dihalalkan untuk kalian bahimatul an’am (yaitu hewan-hewan ternak, tiga jenis unta dengan dua jenisnya baik yang berpunuk satu maupun yang berpunuk dua, sapi dengan dua jenis yaitu sapi dan juga kerbau, demikian pula kambing yang domba atau yang berbulu tipis) maka dihalalkan bagi kalian bahimatul an’am
إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ
Kecuali yang sudah dibacakan kepada kalian. Ada disana yang dikecualikan seperti yang meninggal dalam keadaan terjatuh atau dalam keadaan mayit/bangkai maka ini tidak diperbolehkan
غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ
Dalam keadaan tidak menghalalkan hewan buruan sedangkan kalian dalam keadaan ihram. Termasuk berburu yang dilarang adalah ketika dalam keadaan ihram, Allah subhanahu wata’ala menghalalkan bahimatul an’am kemudian Allah subhanahu wata’ala mengecualikan keadaan kita dilarang untuk berburu ketika dalam keadaan ihram, kita dilarang untuk memakan bangkai atau memakan hewan yang tidak disebut nama Allah subhanahu wata’ala misalnya, Allah subhanahu wata’ala mengharamkan dan Allah subhanahu wata’ala menghalalkan.
إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Allah subhanahu wata’ala menghukumi sesuai dengan apa yang Dia kehendaki. Artinya Allah subhanahu wata’ala memberikan hukum, mengatakan ini halal ini haram itu sesuai dengan kehendak Allah, Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang berhak. Yang perlu kita pahami dan sudah berlalu bahwasanya Allah subhanahu wata’ala diantara namanya Al-Hakim, Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang memiliki sifat Al-Hukm dan Dia memiliki sifat Al-Hikmah, meskipun Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang berhak mengharamkan dan menghalalkan tapi ketika Allah subhanahu wata’ala mengharamkan itu berdasarkan hikmah, ketika Allah subhanahu wata’ala menghalalkan maka itu berdasarkan hikmah, ketika Allah subhanahu wata’ala memerintahkan berdasarkan hikmah, ketika Allah subhanahu wata’ala melarang berdasarkan hikmah.
Jadi jangan dipahami إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ Allah subhanahu wata’ala menghukum, mengeluarkan hukum sesuai dengan kehendaknya kemudian dibayangkan seperti makhluk yang lemah, ketika dia memiliki kedudukan kemudian dia sewenang-wenang, terserah saya mau mengatakan ini boleh atau tidak boleh, tidak berdasarkan hikmah, tidak berdasarkan ilmunya keadaan makhluk. Tapi Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ, dan ini menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang memiliki sifat iradah, Allahu A’lam iradah dalam firman Allah إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ disini adalah Iradah Syar’iah, karena hukum yang dimaksud disini adalah hukum syar’i karena berkaitan dengan tahlil dan juga tahrim maka ini adalah hukum syar’i Allahu A’lam, dan Allah subhanahu wata’ala dalam hukum kauni juga dengan يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ Allah subhanahu wata’ala menghukumi dengan hukum yang kauni juga sesuai dengan kehendak-Nya sebagaimana telah berlalu
وَلَـكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
Akan tetapi Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang melakukan apa yang Dia kehendaki.
Sebagian ahlul bid’ah ada yang menafikan sifat yang iradah ini, seperti mu’tazilah secara umum keyakinan mereka Allah subhanahu wata’ala memiliki nama tetapi tidak memiliki sifat sehingga mereka menafikan sifat iradah bagi Allah subhanahu wata’ala. Dan ada yang mengatakan bahwasanya iradah Allah subhanahu wata’ala itu iradah yang satu saja yaitu iradah yang azaliah tapi mereka menafikan iradah-iradah Allah subhanahu wata’ala yang mutajaddidah, yang terus ada, padahal Ahlussunnah dan mereka melihat dalil bahwasanya iradah Allah subhanahu wata’ala itu mungkin berulang-ulang
إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا
[Yasin:82]
Kalau Allah subhanahu wata’ala menginginkan sesuatu maka Allah subhanahu wata’ala mengatakan كُن fayakun, menunjukkan bahwasanya iradah Allah subhanahu wata’ala bisa berulang-ulang. Wallahu A’lam.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]