Halaqah yang ke-37 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Masuk kita pada pembahasan berkaitan dengan nama dan juga sifat Allah subhanahu wata’ala yaitu sifat Al-Mahabbah yaitu sifat mencintai bagi Allah subhanahu wata’ala, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendatangkan Firman Allah subhanahu wata’ala
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang banyak bertaubat dan mencintai orang-orang yang membersihkan dirinya.
Disini Allah subhanahu wata’ala menyebutkan golongan yang lain yang mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wata’ala yaitu golongan yang pertama adalah At-Tawwabin, At-Tawwab artinya adalah orang yang sering memperbanyak, bukan hanya sekali dalam setahun bahkan ada yang sekali dalam lima tahun, yang Allah subhanahu wata’ala cintai mereka adalah orang yang sering melakukan taubat kepada Allah subhanahu wata’ala karena dia merasa dirinya penuh dengan dosa dan seandainya dia beramal sholeh pun amal shalehnya penuh dengan kekurangan.
Allah subhanahu wata’ala mencintai seorang hamba yang demikian, yang terus-menerus dia melakukan taubat kepada Allah subhanahu wata’ala, memperbanyak melakukan taubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Dan taubat yang dimaksud disini tentunya adalah taubat yang nasuh, taubat yang kholis, taubat yang murni, taubat yang memenuhi syarat bukan hanya sekedar taubat yang sekedar ucapan, tapi Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang sering bertaubat dengan taubat yang nasuh, taubat yang terpenuhi tiga syarat. Pertama dia menyesal, menyesal dalam hatinya, pedih hatinya ketika dia mengingat kembali dosa tadi.
Kemudian yang kedua dia tinggalkan, kalau memang dosa tadi masih menempel pada dirinya dia lepaskan, kalau dosa tadi berupa meninggalkan kewajiban maka segera dia melakukan kewajiban kalau dosa tadi berupa melakukan perkara yang diharamkan maka segera dia singkirkan perkara-perkara yang berkaitan dengan dosa tadi, kalau dia melakukan atau bekerja di tempat yang diharamkan maka dia tinggalkan pekerjaan itu, kalau dia melakukan perjudian maka dia tidak berjudi dan tidak mendatangi lagi tempat-tempat perjudian.
Kemudian syarat yang ketiga dia memiliki tekad dan juga azam, ya Allah subhanahu wata’ala saya tidak akan melakukannya di masa yang akan datang, menyesal sekali dengan apa yang terjadi, sekarang dia bertekad kuat membuka lembaran baru, tidak akan melakukan dosa ini di masa yang akan datang. Inilah yang dimaksud dengan taubat nasuha, kalau ini terus dilakukan oleh seseorang, bukan hanya sekali dalam dua tahun dalam empat tahun tapi terus dia lakukan, sering dia lakukan maka Allah subhanahu wata’ala mencintai seorang hamba yang demikian sifatnya.
Kalau dosa tadi berkaitan dengan hak orang lain maka ditambah dengan syarat yang keempat yaitu harus mengembalikan hak tadi, kalau itu berupa harta maka harus dikembalikan hartanya dengan cara apapun baik dia mengetahui atau dia tidak mengetahui, yaitu orang yang punya harta tadi seandainya harta yang kita ambil dari nya tadi sampai kepadanya tanpa tahu siapa yang mengiriminya tidak masalah, kita kirim misalnya lewat pos atau lewat rekening dia atau melalui orang lain dengan merahasiakan identitas misalnya, tidak masalah.
Atau kalau misalnya itu berkaitan dengan kehormatan, pernah terjadi masalah misalnya antara kita dengan dia dan kita sampai mencaci dia, menghina dia maka kita minta maaf, tapi kalau perkara yang tidak dia ketahui misalnya kita pernah membicarakan kejelekan dia dan dia tidak tahu kalau kita membicarakan kejelekannya maka cukup dengan mendoakan kebaikan untuk orang tersebut sampai kita merasa sudah memberikan yang lebih baik kepadanya atau mengganti apa yang sudah kita lakukan. Ini adalah taubat yang nasuh kalau memang di sana berkaitan dengan hak orang lain, Allah subhanahu wata’ala cinta dengan seorang hamba yang sering melakukan taubat yang nasuh
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
[Surat At-Tahrim Ayat 8]
Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian dengan taubat yang nasuh, bukan taubat yang biasa tapi taubat yang nasuh, taubat yang lurus, taubat yang murni, yang suci, inilah yang dikatakan oleh Allah subhanahu wata’ala
عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
Semoga Robb kalian menghapuskan dari kalian dosa-dosa kalian
وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ
Dan memasukkan kalian ke dalam surga-Nya
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
Yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Inilah taubat yang nasuh yang atasnya Allah subhanahu wata’ala memberikan pahala dengan dihapuskan dosa, dimasukkan ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah termasuk orang yang tawwabin, termasuk orang yang banyak bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, berapa kali Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertaubat dalam sehari, seandainya kita setiap hari bertaubat satu kali, hari ini bertaubat, besok bertaubat dengan taubat yang nasuh, subhanallah maka Insya Allah kita termasuk orang-orang yang tawwabin.
Seandainya setiap hari kita bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala dengan taubat yang nasuh, kita akan melihat keadaan kita lebih baik dari pada sebelumnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertaubat setiap hari tujuh puluh kali, apakah Antum bayangkan bahwasanya beliau bertaubat tujuh puluh kali dengan taubat yang tidak nasuh atau taubat sambel atau taubat yang sekedar ucapan, tentunya tidak. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
وَاللَّهِ إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
Demi Allah subhanahu wata’ala sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah subhanahu wata’ala dan bertaubat kepadanya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.
Bukan hanya tujuh puluh kali tapi lebih dari tujuh puluh kali beristighfar bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala dengan taubat yang nasuh. Itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah diampuni dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang demikian beliau bertaubat, bukan sekali dua kali tapi lebih dari tujuh puluh kali, maka seorang muslim tentunya tergugah hatinya untuk bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala dan tidak mengakhir-akhirkan bertaubat dari dosa, segera itu hukumnya adalah wajib, karena asal dari perintah itu adalah untuk segera kita lakukan. Allah subhanahu wata’ala mengatakan
تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
Hendaklah kalian bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala dengan taubat yang nasuh. Dan Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
[Surah An-Nur:31]
Hendaklah kalian bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala semuanya, semuanya baik yang laki-laki maupun wanita, baik orang arabnya maupun selain arabnya, baik seorang ulamanya maupun thalibul ilm maupun orang awamnya, تُوبُوا إِلَى اللَّهِ taubatlah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala, kembali kepada Allah subhanahu wata’ala جَمِيعًا semuanya wahai orang-orang yang beriman لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ semoga kalian termasuk orang-orang yang beruntung.
Jangan kita mengikuti was-was dari syaitan yang senantiasa nanti taubatnya nanti, nanti, nanti sampai datang kematian, kalau sudah datang kematian Allah subhanahu wata’ala tidak akan menerima taubat seseorang
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala menerima taubat seorang hamba selama belum يُغَرْغِرْ, belum ada suara ghargharah, suara nyawa mau keluar, kalau sudah ada suara nyawa mau keluar maka tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Dan tidak ada antara kita yang mengetahui kapan kematian, sehingga bersegeralah untuk bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala kita semuanya. Kita koreksi diri kita, kita muhasabah dan jangan ragu-ragu, Allah subhanahu wata’ala menjanjikan al-falah, Allah subhanahu wata’ala menjanjikan keberuntungan, orang yang taubat tidak akan rugi, jangan seorang mengikuti was-was dari syaithan, nanti kalau kamu taubat kamu tidak bisa begini, tidak bisa begitu, Allah subhanahu wata’ala akan berikan kenikmatan yang lebih baik daripada kenikmatan kemaksiatan dengan kita bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala.
Yang sudah merasakan ini banyak, orang-orang sholeh, para Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, orang-orang yang shiddiqin mereka sudah merasakan nikmatnya hidup di dalam taubat kepada Allah subhanahu wata’ala, di samping kita juga akan mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wata’ala
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ
Allah subhanahu wata’ala mencintai hamba-hamba yang seperti ini, mencintai seorang hamba yang senang dia bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala.
Dan mungkin saja orang yang bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala dengan taubat yang nasuha melakukan dosa, karena bukan berarti orang yang bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala dengan taubat yang nasuha kemudian dia menjadi seorang malaikat, tidak, dia tetap sebagai seorang insan, sebagai seorang manusia, sebagai seorang anak Adam yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ
Setiap anak Adam itu sering bersalah. Meskipun kita sudah bertaubat mungkin saja terjadi kesalahan lagi dan mungkin saja melakukan kesalahan yang sama tapi siapa orang yang paling baik diantara orang-orang yang sering bersalah?
وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
Sebaik-baik orang yang sering bersalah adalah orang yang sering bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala.
Kalau memang kita mengakui Ana sering bersalah, ana insan, ana seorang manusia maka jadilah orang yang terbaik di antara mereka, orang yang terbaik di antara mereka adalah orang yang sering bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, inilah orang yang paling baik diantara mereka dan inilah orang yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala, tentunya semakin banyak kita bertaubat semakin dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala.
وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Dan Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang bersuci.
Ada dua makna disini, bersuci dalam artian membersihkan jiwanya, berarti disini bersuci yang ma’nawi, membersihkan jiwanya dari dosa, ini hubungannya dengan At-Tawwabin tadi, Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang membersihkan dirinya, dia tidak ingin kotor, risih dia dengan kotoran dosa yang ada dalam dirinya maka dia segera bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, setiap kali kotor lagi dia bersihkan lagi dengan taubat kepada Allah subhanahu wata’ala dia ingin menjadi orang yang bersih, senantiasa menjadi orang yang bersih dari dosa, tidak betah dengan dosa yang terlalu lama menumpuk di dalam dirinya, Allah subhanahu wata’ala cinta dengan seorang hamba yang demikian orang yang ingin bersih.
Jadi jangan seseorang hanya pandai bersih dalam dzhohirnya saja, mandi rajin, pakai pakaian yang rapi, pakai berbagai alat yang menjadikan dia lebih bersih, lebih cerah dan seterusnya tapi dia terus melakukan dosa, kotor dan sangat kotor dirinya dengan dosa dan juga maksiat meskipun secra dzhohir dia memiliki badan yang bersih.
Makna yang kedua adalah bersih secara dzhohir, maksudnya adalah orang yang senang bersuci, ingin setiap keadaan dia dalam keadaan dia suci dengan wudhu, kalau dia junub maka segera dia mengangkat hadats besarnya, kalau dia hadats kecil dia berwudhu kembali, dia ingin dirinya dalam keadaan berwudhu terus, dalam keadaan suci terus. Maka ini masuk dalam pengertian ayat ini, Allah subhanahu wata’ala mencintai seseorang yang demikian, ini menjadi dalil tentang keutamaan bersuci atau dalam keadaan suci secara mutlak yaitu seseorang yang senantiasa dalam keadaan suci, ketika dia batal dia wudhu kembali, maka ini termasuk amal shaleh, dengannya seseorang mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wata’ala.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]