Home » Halaqah 38: Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Islam Shalat dan Zakat, Puasa dan Haji

Halaqah 38: Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Dalil Rukun Islam Shalat dan Zakat, Puasa dan Haji

Materi HSI pada halaqah ke-38 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah adalah tentang landasan kedua ma’rifatu dinil islam bil adillah dalil rukun Islam shalat dan zakat, puasa dan haji.
Abdullah bin Syaqiq termasuk tabi’in, belajar dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Umar, Utsman bin Affan, dan seterusnya.
Beliau mengatakan,
كَانَ أَصْحَابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم لاَ يَرَوْنَ مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ ‏
“Dahulu para sahabat Rasulullah tidak pernah memandang sebuah amalan yang kalau ditinggalkan maka pelakunya menjadi keluar dari agama Islam, kecuali shalat.”
Ini adalah ucapan Abdullah Ibnu Syaqiq, yang menceritakan bagaimana dahulu para sahabat Rasulullah memandang tentang orang yang meninggalkan shalat.
Ini menunjukkan tentang besar dan tingginya kedudukan shalat di dalam agama kita. Terlepas dari mana yang lebih kuat, apakah pendapat yang mengkafirkan atau yang tidak mengkafirkan.
Maka adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut menunjukkan tentang besar dan bahayanya orang yang meninggalkan shalat.
Ketika para ulama berbicara tentang orang yang berzina, tidak ada ulama Ahlus Sunnah yang mengatakan, “Orang yang berzina keluar dari agama Islam”, meskipun dia berkali-kali melakukan perzinaan.
Ketika mereka berbicara tentang orang yang membunuh, tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwasanya ”Orang yang membunuh itu keluar dari agama Islam”.
Semuanya mengatakan dia adalah:
• Fasiq
• Naqishul iman (orang yang berkurang kesempurnaan imannya).
• Murtakib al-Kabirah (pendosa besar).
• Tahta Masy-yaatillah (di bawah kehendak Allah).
• Min Syaa Adzābahu wa In syā’a ghafarallāhu.
Ketika membahas tentang riba, membahas tentang homoseksual, dan seterusnya, tidak ada diantara ulama Ahlus Sunnah yang sampai mengkafirkan mereka.
Tetapi ketika berbicara tentang orang yang meninggalkan shalat, barulah di sini terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan kafir dan sebagian yang lain mengatakan belum atau tidak kafir.
Ini menunjukkan bahwasanya perkara ini (yaitu) meninggalkan shalat bukanlah perkara yang ringan.
Disebutkan oleh Syaikh Utsaimin, “Min Masaa-il Kibar (من مسائل كبر)”. Termasuk
perkara yang besar bukan perkara yang ringan.

ZAKAT

Membayar zakat juga demikian, termasuk kewajiban sebagaimana shalat. Barangsiapa yang membedakan shalat ini wajib dan zakat tidak wajib, maka di zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq, diperangi oleh beliau.
Ketika beliau ditahan oleh Umar bin Khaththab karena akan memerangi orang yang tidak mau membayar zakat, kemudian Umar bin Khaththab mengingatkan kepada Abu Bakar dengan mengatakan, bukankah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan,
أُمِرْتُ أَن أُقاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَن لا إِلهَ إِلاَّ اللَّه وأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فإن فَعَلوا ذلكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ إِلاَّ بحَقِّ الإِسلامِ
Mereka sudah bersyahadat kenapa kamu perangi?
Abu Bakar Ash-Shiddiq dikenal orang yang lembut, tetapi ketika saatnya beliau tegas maka beliau akan tegas meskipun di hadapan Umar bin Khaththab.
Kemudian Abu Bakar mengatakan,
لأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلاةِ والزَّكاةِ
“Sungguh aku akan memerangi orang-orang yang membedakan antara shalat dengan zakat.”
Kemudian beliau menjelaskan bahwasanya membayar zakat termasuk Min Haqqil Islam. Karena di dalam hadits tadi disebutkan إِلاَّ بحَقِّ الإِسلامِ.
Dan termasuk hak Islam adalah mendirikan shalat dan membayar zakat. Orang yang tidak mau membayar zakat beliau perangi dan ini disepakati oleh para sahabat dan dilakukan oleh para sahabat.
Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang tidak mau membayar zakat karena beratnya membayar zakat. Apakah dia keluar dari agama Islam atau tidak? Dan pendapat yang lebih shahih bahwasanya “Dia tidak keluar dari agama Islam.”
Karena disebutkan di dalam hadits, orang yang tidak membayar zakat ternak (sapi, unta, atau kambing, misalnya) kelak dia akan disiksa oleh Allah Azza wa Jalla di Padang Mahsyar. Allah akan datangkan hewan-hewan ternak yang tidak dibayarkan zakatnya itu, kemudian hewan-hewan itu akan menyiksa pemiliknya disaksikan oleh manusia di padang Mahsyar.
Kemudian disebutkan dalam hadits,
ثمَّ يَرى سبيلَهُ إمَّا إلى الجنَّةِ وإمَّا إلى النَّارِ
“Akan diperlihatkan jalannya, mungkin ke dalam surga atau ke dalam neraka.”
Dan hadits ini bercerita tentang orang-orang yang tidak membayar zakat, baik zakat emas, perak, atau hewan ternak (unta) dan seterusnya.
Disebutkan إمَّا إلى الجنَّةِ وإمَّا إلى النَّارِ dan ucapan (ancaman) ini tidak ditujukan kepada orang kafir, karena orang kafir pasti ke dalam neraka.
Ketika disebutkan mungkin ke surga mungkin ke neraka, menunjukkan bahwasanya dia masih ada kemungkinan masuk ke dalam surga.
Berarti orang yang meninggalkan zakat kalau dia masih meyakini kewajibannya, maka pendapat yang shahih diantara pendapat ulama bahwasanya dia statusnya masih sebagai seorang Muslim tetapi متوّعد, mutawwa’ad, (diancam) dengan siksaan yang disebutkan dalam hadits ini.
وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Yang demikian adalah agama yang lurus.”

PUASA

Kemudian beliau menyebutkan dalil tentang wajibnya puasa.
ودليل الصيام
Dan dalil dari puasa adalah firman Allah Azza wa Jalla,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman. Telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. Al-Baqarah 183]
Yang dimaksud dengan puasa di sini adalah puasa Ramadhan.
Artinya كُتِبَ adalah أُوجِبَ – فُرِضَ telah diwajibkan. Dan yang dimaksud dengan puasa di sini adalah puasa Ramadhan. Karena setelahnya Allah mengatakan,
أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰت
“Beberapa hari tertentu.” [QS. Al-Baqarah 184]
Kemudian Allah mengatakan,
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’ān.” [QS. Al-Baqarah 185]
Menunjukkan bahwasanya الصيام yang dimaksud pada ayat sebelumnya adalah shiyam di bulan Ramadhan yang dilakukan أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ yaitu selama 29 atau 30 hari sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, supaya kalian bertaqwa.

HAJI

Adapun dalil yang menunjukkan tentang kewajiban haji adalah firman Allah,
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَیۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَیۡهِ سَبِیلࣰاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِیٌّ عَنِ ٱلۡعَـٰلَمِینَ
[Surat Ali Imran 97]
ولِلَّهِ عَلَى الناس
“Dan bagi Allah atas manusia”, ini yang menunjukkan wajibnya haji.
Kalau yang shiyam tadi, كُتِبَ
Ini yang menunjukkan wajibnya Shiyam.
Kalau yang shalat dan zakat tadi, وَمَآ أُمِرُوٓاْ menunjukkan tentang kewajibannya.
عَلَى الناسِ
Artinya adalah atas manusia. Maknanya adalah kewajiban, kewajiban bagi kamu (manusia) ولله (untuk Allah).
Apa yang dilakukan?
حِجُّ البَيِت
“Berhaji ke Baitullah.”
Berhaji ke Baitullah adalah kewajiban manusia untuk Allah. Ini takdir dari ucapan ini.
Berhaji ke Baitullah adalah عَلَى الناسِ – kewajiban atas manusia untuk Allah. Jadi wajib bagi mereka untuk menyerahkan haji ini kepada Allah saja.
Apakah untuk seluruh manusia?
مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَیۡهِ سَبِیلࣰا
“Bagi orang yang mampu untuk menuju ke sana.”
Dan yang dimaksud dengan istithā’a (استطَاعَ) di sini adalah baik kemampuan harta maupun kemampuan fisik.
وَمَن كَفَرَ
“Dan barangsiapa yang kufur.”
Kufur di sini ada dua:
  1. Kufur mengingkari kewajiban haji.
  2. Tidak mau melakukan haji karena malas, sayang dengan fisik atau hartanya (tetapi dia mengakui wajibnya haji).
Kalau dia mengingkari kewajiban haji maka masuk ke dalam kekufuran yang besar.
Dan kalau dia menetapkan kewajiban haji, tetapi dia tidak melakukan haji karena malas, maka dia masuk ke dalam kufur yang ashghar, yaitu dosa.
فَإنَّ الَّلهَ غَني عِن العَالَمِين
“Maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada seluruh alam ini.”
Kita haji atau tidak haji, Allah tidak butuh. Yang mengambil faedah itu adalah kita sendiri.
Kita ibadah atau tidak ibadah, Allah tidak butuh yang demikian. Yang mengambil faedah dari ibadah adalah kita sendiri.
فَإنَّ الَّلهَ غَني عِن العَالَمِين
“Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam.”
Allah tidak butuh dengan ibadah yang dilakukan oleh makhluk, tapi makhluk-lah yang butuh ibadah kepada Allah Azza wa Jalla.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top