Materi HSI pada halaqah ke-62 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah adalah tentang landasan ketiga ma’rifatul nabiyyikum Muhammadin: hikmah diprioritaskannya dakwah tauhid bagian 2.
Diantara hikmah kenapa para Nabi dan Rasul dahulu mereka memulai dakwahnya dengan tauhid ini. Diantara sebabnya karena orang yang sudah masuk di dalam hatinya tauhid, maka dengan mudah dia menerima perintah dan dengan mudah dia meninggalkan larangan.
Tauhid yang ada di dalam hatinya menggugah dia, mendorong dia untuk beramal sholeh. Pengagungan dia terhadap Allah menjadikan dia ketika diperintahkan dia langsung melaksanakan perintah tadi. Takut kalau sampai dia tidak melaksanakan perintah Allah, nanti akan menyimpang akan menjadi terjerumus ke dalam kesyirikan yang kecil sampai akhirnya terjerumus ke dalam kesirikan yang besar.
Demikian pula menjadikan dia takut untuk melakukan dosa, karena orang yang sudah kuat tauhidnya dia tidak ingin menyekutukan Allah termasuk di antaranya kalau sudah tinggi tauhidnya tidak ingin menyekutukan Allah dengan hawa nafsunya, inginnya menundukkan dirinya untuk Allah saja. Kalau hawa nafsu tersebut bertentangan dengan kehendak Allah, maka dia tidak ingin mengikuti hawa nafsunya, hawa nafsu tersebut tunduk dengan Allah ta’ala.
Sebagaimana dia tidak ingin menyembah kepada selain Allah, demikian pula dia tidak ingin menyembah hawa nafsunya, maka dia tidak melakukan kemaksiatan dan ini adalah bagian kesempurnaan tauhid dia kepada Allah. Jadi orang yang tauhidnya sudah sampai puncak, kamaal tauhid, sebagaimana 70.000 orang yang dikabarkan oleh Nabi masuk ke dalam surga tanpa hisab dan juga tanpa azab.
Mereka adalah orang-orang yang mewujudkan benar-benar tauhid. Bukan hanya masalah syirik besar yang dia tinggalkan bukan hanya syirik kecil saja yang dia tinggalkan, kebid’ahan juga dia tinggalkan, karena pada hakekatnya bid’ahan di situ ada mengikuti hawa nafsu, mengikuti selain syariat Allah. Padahal kita harus mengesakan Allah termasuk diantaranya dalam syariat, hanya syariat Allah saja yang kita ikuti jangan kita mengikuti syariat yang lain, maka mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah ini adalah bagian dari tauhid.
Orang yang sudah sampai puncak tauhidnya maka dia akan meninggalkan kemaksiatan karena mengikuti dan melakukan kemaksiatan adalah mengikuti hawa nafsu, dan mengikuti hawa nafsu berarti mentaati dia seakan-akan menyembah hawa nafsu tersebut.
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ
Tahukah engkau orang yang menjadikan sesembahan dia adalah hawa nafsunya.
Hawa nafsunya ingin ini dia ikuti seakan-akan dia menyembah kepada hawa nafsunya tersebut.
Ini adalah orang-orang yang mewujudkan tauhid dengan sebenar-benarnya, akan mudah baginya untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.
Makanya kalau dakwah para Nabi dan Rasul dimulai dengan dakwah tauhid, itu adalah dakwah yang shahih, itulah yang benar. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dakwah tauhid ini sudah menancap dalam di dalam hati para sahabat, siap mereka untuk menerima perintah, siap mereka untuk menerima larangan, maka setelah itu turunlah secara bertubi-tubi syariat-syariat yang lain, dan dengan mudah dilaksanakan oleh para sahabat. Disuruh untuk shalat 5 kali dalam sehari mudah bagi mereka, sami’na wa atho’na.
Yang wanita diturunkan kepada mereka kewajiban hijab langsung mereka laksanakan dan tidak diundur.
Disebutkan dalam kisahnya ketika turun perintah bagi mereka untuk menutupi leher mereka dan juga kepala mereka, maka mereka langsung melaksanakan ayat tersebut. Tidak menunggu sampai membuat atau datang ke tukang jahit, mau model yang demikian.
Langsung mereka pergi ke rumah mereka masing-masing, apa yang ada di situ digunakan untuk sebagai khimar. Mereka punya sarung, sarungnya dipotong-potong dipakai untuk menutupi badannya. Punya selimut, selimut itulah yang dipakai untuk menutupi badannya, tidak menunggu membuat pakaian tertentu dengan model tertentu, apa yang ada itulah yang mereka pakai.
Kenapa mereka melakukan itu, karena sudah kuat di dalam hatinya aqidah. Perintah oleh Allah langsung mereka laksanakan. Ini di antara hikmah kenapa para Nabi dan Rasul dahulu mereka memulai dakwahnya dengan tauhid ini.
Guru kami yang mulia di dalam kelas pernah membuat pemisalan ketika menyebutkan tentang keutamaan dakwah kepada tauhid ini. Seandainya seorang dokter di hadapannya ada pasien yang sedang diuji. Misalnya habis kecelakaan dan seterusnya, ada beberapa luka, ada yang patah, ada yang sobek, ada yang luka ringan, ada yang mungkin tulang dadanya patah sehingga sesak nafasnya dan seterusnya. Maka seorang dokter melihat pasien yang ada di depannya, dia akan melihat mana yang darurat harus segera ditolong. Karena yang menimpa dia ini bertingkat-tingkat, bermacam-macam, ada yang bisa diakhirkan dia bukan sesuatu yang fatal tapi di situ ada sesuatu yang fatal yang harus segera dikerjakan, harus segera ditolong dan ditangani. Luka dengan patah tulang misalnya, kemudian dengan kesusahan di dalam bernafas, tulangnya patah, tangannya patah, ada luka atau misalnya ada telinganya ini terputus misalnya, maka dia akan melihat mana yang paling butuh dengan cepat harus ditangani, kira-kira mana itu? Nafas dulu. Dokter yang cerdas bahkan jangan dokter lah kita saja yang bukan dokter paham yang demikian, kita akan mendahulukan mana yang paling fatal.
Barulah setelah itu yang di bawahnya dan yang dibawanya. Kalau sudah dia bisa napas dan sudah tidak kesakitan barulah luka-luka tadi baru diurus, itu dokter yang paham.
Demikian pula di dalam dakwah ini, kita sedang menghadapi pasien, seorang manusia yang hatinya sebelumnya bersih asalnya, ini sudah banyak kotoran, ada kotoran syirik, ada kotoran bid’ah, ada kotoran maksiat, perlu semuanya harus dibersihkan.
Tapi kita sebagai seorang da’i yang ingin membersihkan kotoran-kotoran tadi kita perlu cara, perlu ilmu untuk membersihkannya. Kita mengikuti utusan-utusan Allah ta’ala di dalam membersihkan penyakit-penyakit hati, yaitu dengan cara memulai yang pertama kali dibersihkan adalah tentang kesyirikan, dimulai dengan tauhid, dan ini adalah dakwah para Nabi dan juga para Rasul ‘alaihimussalaam.
Barangsiapa yang menempuh selain jalan mereka di dalam berdakwah, maka dia tidak akan berhasil di dalam dakwahnya, bahkan kalau ada sebuah aliran tidak memiliki perhatian tentang masalah tauhid, ketahuilah bahwasanya aliran tersebut adalah aliran yang sesat. Diantara ciri aliran yang sesat apabila di dalam dakwahnya dia tidak menekankan tentang masalah tauhid.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah]