Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa tidak boleh membangun masjid di atas kuburan dan hal ini merupakan kesesatan dalam agama. Di samping itu, perbuatan ini merupakan jalan menuju syirik serta menyerupai perbuatan Ahlul Kitab. Perbuatan tersebut juga akan mendatangkan kemarahan dan laknat Allah Azza wa Jalla.
Masalah ini merupakan masalah paling besar yang telah menimpa ummat Islam. Dewasa ini telah banyak masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan dan dibangun juga kubah-kubah di atasnya. Bahkan, tidak sedikit kuburan yang ditinggikan dan dibangun dengan hiasan yang ketinggiannya melebihi tinggi tubuh manusia serta dihias dengan hiasan-hiasan yang mewah, hal tersebut adalah perbuatan haram.
Sementara, orang-orang datang mengunjunginya untuk mencari dan minta berkah, berdo’a (memohon) kepada penghuninya, menyembelih binatang dan memohon syafa’at serta kesembuhan dari mereka. Perbuatan itu semua termasuk ke dalam syirik akbar. Itulah fakta yang kita dapati dari kebanyakan negeri Islam, di zaman ini yang bisa kita dapati di mana-mana. Dan kiranya tidak perlu kami buktikan kenyataan ini. -Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari Allah-.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma menceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang gereja dengan rupaka-rupaka yang ada di dalamnya yang dilihatnya di negeri Habasyah (Ethiopia). Maka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُوْلَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Mereka itu adalah suatu kaum, apabila ada orang yang shalih atau seorang hamba yang shalih meninggal di antara mereka, mereka bangun di atas kuburannya sebuah tempat ibadah dan mereka buat di dalam tempat itu rupaka-rupaka. Mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah pada hari Kiamat.”[HR. Al-Bukhari (no. 427, 434, 1341) dan Muslim (no. 528)]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.
“Laknat Allah atas Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.”[HR. Al-Bukhari (no. 435, 436, 3453, 3454, 4443, 4444, 5815, 5816) dan Muslim (no. 531 (22))]
Dari Jundub bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu berkata: “Aku mendengar bahwa lima hari sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُوْنَ لِي مِنْكُمْ خَلِيْلٌ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ.
“Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil (kekasih mulia) di antara kamu, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil, seandainya aku menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.’”[HR. Muslim (no. 532 (23))]
Yang dimaksud dengan اِتِّخَاذُ الْقُبُوْرِ مَسَاجِدَ yaitu menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), mencakup tiga hal, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah :
Tidak boleh shalat menghadap kubur. Hal ini ada larangan yang tegas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَا.
“Jangan kamu shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya.”[HR. Muslim (no. 972 (98)) dan lainnya]
Tidak boleh sujud di atas kubur.
Tidak boleh membangun masjid di atasnya (tidak boleh shalat di masjid yang dibangun di atasnya kuburan).
Beliau rahimahullah juga menyebutkan dalam kitabnya, bahwasanya: Membangun masjid di atas kubur hukumnya haram dan termasuk dosa besar menurut empat madzhab.
Kemudian dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz rahimahullah dalam fatwanya:
Hadits-hadits larangan tersebut menunjukkan tentang haramnya membangun masjid di atas kubur dan tidak boleh menguburkan mayat di dalam masjid.
Tidak boleh shalat di masjid yang di sekelilingnya terdapat kuburan.
Disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya:
Siapa yang mengubur seseorang di dalam masjid, maka ia harus memindahkannya dan mengeluarkannya dari masjid.
Siapa yang mendirikan masjid di atas kuburan, maka ia harus membongkarnya (merobohkannya).
Disebutkan pula oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitabnya, bahwa menjadikan kubur sebagai tempat ibadah termasuk dosa besar, dengan sebab:
Orang yang melakukannya mendapat laknat Allah.
Orang yang melakukannya disifatkan dengan sejelek-jelek makhluk.
Menyerupai orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan menyerupai mereka hukumnya haram.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya, Zaadul Ma’ad:[13] “Berdasarkan hal itu, masjid harus dibongkar bila dibangun di atas kubur. Sebagaimana halnya kubur yang berada dalam masjid harus dibongkar. Pendapat ini telah disebutkan oleh Imam Ahmad dan lainnya. Tidak boleh bersatu antara masjid dan kuburan. Jika salah satu ada, maka yang lain harus tiada. Mana yang terakhir didirikan itulah yang dibongkar. Jika didirikan bersamaan, maka tidak boleh dilanjutkan pem-bangunannya, dan wakaf masjid tersebut dianggap batal. Jika masjid tetap berdiri, maka tidak boleh shalat di dalamnya (yaitu di dalam masjid yang ada kuburannya) berdasarkan larangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan laknat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang menjadikan kubur sebagai masjid atau menyalakan lentera di atasnya. Itulah dienul Islam yang Allah turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun dianggap asing oleh manusia sebagaimana yang engkau saksikan.”[Tentang harus dibongkarnya masjid yang dibangun di atas kubur itu tidak ada khilaf di antara para ulama yang terkenal, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Iqthidhaa’us Sirathil Mustaqiim (II/187)]
Jawaban terhadap syubhat yang ada: “Yaitu orang berkata sekarang kita dalam dilema sehubungan dengan makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada tepat di tengah masjid. Bagaimana menjawabnya?”
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam ketika meninggal dunia dimakamkan di kamar ‘Aisyah di rumahnya sebelah masjid, dipisahkan dengan tembok dan ada pintu yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar menuju masjid. Hal ini adalah perkara yang sudah disepakati para ulama dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya para Sahabat Radhiyallahu anhum menguburkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kamarnya. Mereka lakukan demikian supaya tidak ada seorang pun sesudah mereka menjadikan kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai masjid atau tempat ibadah, sebagaimana hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dan yang lainnya.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata : “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang karenanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَا جِدَ
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat peribadahan”
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma melanjutkan.
وَلَوْ لاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
“Seandainya bukan karena larangan itu tentu kuburan beliau sudah ditampakkan di atas permukaan tanah (berdampingan dengan kuburan para Sahabat di Baqi’). Hanya saja beliau khawatir akan dijadikan sebagai tempat ibadah“[HR. Al-Bukhari (no. 1330), Muslim (no. 529), Abu Awanah (I/399) dan Ahmad (VI/80, 121, 255). Perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ini menunjukkan dengan jelas sebab mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan di rumahnya. Beliau Shalallallahu ‘alaihi wa sallam menutup jalan supaya tidak dibangun di atasnya masjid (sebagai tempat ibadah). Maka, tidak boleh dijadikan alasan tentang bolehnya mengubur di rumah, karena hal ini menyalahi hukum asal. Menurut Sunnah menguburkan mayat di pekuburan kaum Muslimin]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
اَللَّهُمَ لاَ تّجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنَا، لَعَنَ اللَّهُ قَوْمًا اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala (yang disembah). Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai temp ibadah“[HR. Ahmad (II/246), al-Humaidi dalam Musnadnya (no.1025) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’. Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata, “Sanadnya shahih”, Musnad Ahmad (VII/173 no. 73520. Diriwayatkan juga oleh Imam Malik (I/156 no. 85), dari ‘Atha’ bin Yasar secara marfu’. Hadits ini mursal shahih]
Kemudian -Qaddarallahu wa Maasyaa’a Fa’ala- terjadi sesudah mereka apa yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu pada zaman al-Walid bin Abdul Malik tahun 88H, ia memerintahkan untuk membongkar masjid Nabawi dan kamar-kamar istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termauk juga kamar ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma sehingga dengan demikian masuklah kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam Masjid Nabawi.
Pada saat itu tidak ada seorang Sahabat pun di Madinah an-Nabawiyyah. Sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan muridnya al-‘Allamah al-Hafizh Muhammad bin Hadi rahimahullah : “Sesungguhnya dimasukkannya kamar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam masjid pada masa khilafah al-Walid bin ‘Abdil Malik, sesudah wafatnya seluruh Sahabat Radhiyallahu anhu yang ada di Madinah. Dan yang terakhir wafat adalah Jabir bin ‘Abdillah[Beliau adalah seorang Sahabat yang mulia, Jabir bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin Haram bin Ka’ab al-Anshari as-Silmi. Seorang yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikut dalam bai’at ‘Aqabah dan ikut bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak peperangan. Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, dia membuat halaqah (kajian) di Masjid Nabawi untuk ditimba ilmunya], beliau Radhiyallahu anhu wafat pada zaman ‘Abdul Malik pada tahun 78 H. Sedangkan al-Walid menjabat khalifah tahun 86 H dan wafat pada tahun 96 H. Maka dari itu, dibangunnya (renovasi) masjid dan masuknya kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi antara tahun 86-96 H.
Perbuatan al-Walid bin ‘Abdil Malik ini salah -semoga Allah mengampuninya-.
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam Fat-hul Baari dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al-Jawaabul Baahir: “Bahwasanya kamar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala dimasukkan ke dalam masjid, ditutup pintunya, dibangun atasnya tembok lain untuk menjaga agar rumah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dijadikan tempat perayaan dan kuburnya tidak dijadikan berhala.”
Larangan shalat di masjid yang ada kuburnya atau masjid yang dibangun di atas kubur mencakup semua masjid di seluruh dunia kecuali Masjid Nabawi. Hal tersebut karena Masjid Nabawi mempunyai keutamaan yang khusus yang tidak didapati di seluruh masjid di muka bumi kecuali Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram.”[HR. Muslim (no. 1395)]
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 kali daripada shalat di masjid-masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram.”[ HR. Al-Bukhari (no. 1190), Muslim (no. 1394), at-Tirmidzi (no. 325), Ibnu Majah (no. 1404), ad-Darimi (I/330), al-Baihaqi (V/246), Ahmad (II/256, 386, 468)]
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، فَصَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةَ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ.
“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram, maka shalat di Masjidil Haram lebih utama 100.000 kali daripada shalat di masjid yang selainnya.”[Ahmad (III/343, 397), Ibnu Majah (no. 1406)]
مَا بَيْنَ بَيْتِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِيْ عَلَى حَوْضِي.
“Antara rumahku dan mimbarku ada taman dari taman-taman Surga dan mimbarku di atas telagaku.”[HR. Al-Bukhari (no. 1196, 1888), Muslim (no. 1391), Ibnu Hibban (no. 3750/ Ta’liiqaatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 3742)), al-Baihaqi (V/246)]
Dan keutamaan-keutamaan yang lain yang tidak didapati di masjid lainnya. Kalau dikatakan tidak boleh shalat di masjid beliau berarti menyamakan dengan masjid-masjid lainnya dan menghilangkan keutamaan-keutamaan ini dan hal ini jelas tidak boleh.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata tentang syubhat tersebut:
Masjid Nabawi itu tidak didirikan di atas kuburan, tetapi masjid didirikan pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikuburkan di dalam masjid, namun dikubur di dalam rumah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menggabungkan rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk pula rumah ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan masjid, bukan atas kesepakatan para Sahabat. Hal ini terjadi setelah sebagian besar Sahabat sudah meninggal dunia dan yang masih hidup saat itu tinggal sedikit, kira-kira pada tahun 94 H. Hal ini termasuk masalah yang tidak disepakati semua Sahabat yang masih ada. Yang pasti bahwa sebagian di antara mereka menentang rencana itu, termasuk pula Sa’id bin al-Musayyab [Nama lengkapnya Sa’id bin al-Musayyab bin Hazan bin Abi Wahhab al-Makh-zumi al-Qurasyi. Dia adalah seorang ahli Fiqih di Madinah. Dia menguasai ilmu hadits, fiqih, zuhud, wara’. Dia orang yang paling hafal hukum-hukum ‘Umar bin Khaththab dan keputusan-keputusannya, wafat di Madinah th. 94 H], dari kalangan Tabi’in. Dia tidak ridha atas hal itu.
Kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm tidak berada di dalam masjid Nabawi, meskipun setelah itu masuk di dalamnya, karena kuburan beliau ada dalam ruangan tersendiri yang terpisah dengan masjid, sehingga masjid tidak didirikan di atas kuburan. Karena itu tempat tersebut dijaga dan dilapisi tiga dinding. Dinding-dinding itu berbentuk segi tiga yang posisinya miring dengan arah Kiblat, sedangkan rukun di sisi utara, sehingga orang yang shalat tidak mengarah ke sana, karena bentuknya agak miring.
Wallaahu a’lam.
***
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas]
————————————————————————————————————————
Referensi:
- Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah.
- Tahdziirus Saajid min Ittikhaadzil Qubuur Masaajid oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I/ Maktabah al-Ma’arif/ th. 1422 H.
- Fataawaa Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz (IV/337-338 dan VII/426-427), dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir, cet. I, th. 1420 H.
- Fataawaa Muhimmah Tata’allaqu bish Shalah oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz, cet. I, Daarul Fa-izin lin Nasyr-th. 1413 H.
- Al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid (I/402) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
- Mausuu’atul Manaahi asy-Syar’iyah (I/426).
- Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/572) tahqiq Syu’aib dan ‘Abdul Qadir al-Arnauth, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H.
- Taariikhuth Thabari (V/222-223) dan Taariikh Ibni Katsir (IX/74-75).
- Al-Ishaabah (I/213 no. 1026).
- Al-Jawaabul Baahir fii Zuwwaaril Maqaabir
- Majmuu’ Fataawaa (XXVII/419) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
- Al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid (I/398-399).
- Siyar A’laamin Nubalaa’ (IV/217-246, no. 88).