Home » Halaqah 107: Sikap Pertengahan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dalam Bab Penamaan Iman & Agama, serta Sikap terhadap Para Sahabat

Halaqah 107: Sikap Pertengahan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dalam Bab Penamaan Iman & Agama, serta Sikap terhadap Para Sahabat

Halaqah yang ke-107 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Beliau mengatakan
وَفِي بَابِ أَسْمَاءِ الإِيمَانِ والدِّينِ بَيْنَ الْحَرُورِيَّةِ وَالْمُعْتَزِلَةِ، وَبَيْنَ الْمُرْجِئَةِ وَالْجَهْمِيَّةِ
Di dalam masalah iman dan juga agama (maksudnya di dalam masalah nama-nama yang ada dalam iman dan juga agama ini, seperti misalnya muslim mukmin kafir fasik munafik muttaqin) dalam masalah nama mereka (ahlussunnah) juga berada di pertengahan antara al-ḥarūriyyah dan mu’tazilah dan antara murji’ah dan jahmiyyah.
Ḥarūriyyah ini adalah nama lain dari khawarij, diantara nama mereka adalah al-ḥarūriyyah ini orang-orang khawarij awal yang mereka menggabungkan diri mereka untuk bersatu di sebuah tempat yang dinamakan dengan ḥarūr di iraq, sehingga orang-orang khawarij tersebut dinamakan dengan ḥarūriyyah karena mereka berkumpul ditempat tadi.
Ā’isyah Radiallahu ta’ala Anha ketika ada seorang wanita yang bertanya kepada beliau wahai Ummul mukminin kenapa seorang wanita diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat, kenapa tidak sekalian shalat yang kita tinggalkan selama tujuh hari selama 15 hari itu diqadha semuanya kenapa cuma puasa saja, ini berarti sudah ada berlebih-lebihan dalam beragama sehingga Ā’isyah mengatakan Apakah engkau adalah seorang ḥarūriyyah? karena sifat orang-orang khawarij adalah berlebihan-lebihan di dalam masalah agama mereka.
Mu’tazilah dari kata اعتزل yang artinya adalah meninggalkan, karena pendirinya yaitu Wasil bin Atha’ meninggalkan majelisnya Hasan Al-Bashri, sebelumnya dia bertanya kepada Hasan Al-Bashri bagaimana kedudukan dia (pelaku dosa besar) kemudian Hasan Al-Bashri menjawab dengan aqidah ahlussunnah wal jama’ah, dia adalah seorang yang fasiq kemudian Wasil bin Atha’ tidak menyetujui dan mengatakan dia berada diantara dua manzilah sehingga kemudian dia meninggalkan Hasan Al-Bashri dan sejak saat itu dinamakan dengan al-mu’tazilah karena dia dan juga pengikutnya meninggalkan majelisnya seorang ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah di zamannya yaitu Hasan Al-Bashri.
Al-Ḥarūriyyah (khawarij) mengatakan pelaku dosa besar dia adalah kafir bukan Islam, orang-orang mu’tazilah mengatakan bahwasanya dia bukan Islam tapi juga bukan kafir artinya keluar dari agama Islam tetapi tidak masuk kepada kekafiran, dia di sebuah manzilah bainal manzilatain, manzilah yang pertama manzilatul Islam kemudian manzilah yang kedua adalah manzilatul kufr, dia ada di sebuah kedudukan diantara dua manzilah, dia bukan muslim dan bukan kafir. Ini satu pihak mengatakan bahwasanya pelaku dosa besar berarti dia bukan muslim baik orang khawarij karena dia mengatakan kafir ataupun orang mu’tazilah yang mengatakan di satu tempat di antara dua tempat, semuanya mengatakan bukan muslim.
وَبَيْنَ الْمُرْجِئَةِ وَالْجَهْمِيَّةِ
Dan antara orang-orang murji’ah dan jahmiyah, ini dalam satu pihak, karena orang-orang murji’ah dan jahmiyah sama-sama meyakini bahwasanya pelaku dosa besar muslim sempurna keimanannya.
Al-jahmiyyah ini termasuk murji’ah di dalam masalah ini karena jahmiyyah keyakinan mereka iman itu adalah suatu yang berada dalam hati, membenarkan dalam hati itu dinamakan dengan iman, ucapan hati itulah iman, dan ini adalah murji’ah bahkan dia adalah murji’ah yang paling parah keadaannya, sehingga orang-orang jahmiyyah itu dalam masalah ini dia termasuk murji’ah tapi tidak semua murji’ah masuk dalam jahmiyah, dari sisi ini murji’ah lebih umum setiap yang mengakhirkan amalan dari iman maka dia murji’ah.
Disana ada al-karramiyyah yang mengatakan bahwasanya iman itu adalah ucapan lisan saja meskipun dia tidak yakini dalam hati, maka ini termasuk murji’ah, jahmiyah juga demikian termasuk murji’ah. Mereka meyakini pelaku dosa besar sempurna keimanannya karena imannya dalam hati imannya ucapan lisan saja, adapun dia berzina dan memutus tali silaturahim dan berdusta itu amalan dia tidak akan mempengaruhi iman, berarti mereka mengatakan seorang muslim yang sempurna keimanannya.
Ahlussunnah berada di pertengahan antara dua kelompok ini, keyakinan mereka bahwasanya pelaku dosa besar ini seorang mu’min naqishul iman, ucapan mu’min berarti bantahan terhadap ḥarūriyyah dan juga mu’tazilah yang mengatakan kafir atau diantara dua manzilah, naqishul iman bantahan kepada murji’ah dan juga jahmiyah yang mereka mengatakan iman mereka tidak berkurang, berarti mereka berada dipertengahan bukan ḥarūriyyah dan juga mu’tazilah dan bukan di atas jalannya murji’ah dan juga jahmiyah, karena mereka karena berdasarkan dalil / mengumpulkan dalil yang menunjukkan bahwa mereka ini muslim. Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ
[Al-Hujurat:9]
Apabila ada dua golongan dari kalangan orang-orang yang beriman mereka saling berperang, kita tahu makna berperang masing-masing membawa senjata ingin membunuh saudaranya dan kita tahu bahwasanya membunuh adalah termasuk dosa besar, membunuh satu orang saja dosa besar apalagi berperang, mungkin dia membunuh 1, 2, 10 tapi Allah subhanahu wata’ala mengatakan dari kalangan orang-orang yang beriman, dua kelompok ini yang saling berperang tadi masih Allah subhanahu wata’ala sifati mereka dengan iman, berarti mereka beriman, beriman kepada Allah subhanahu wata’ala beriman kepada hari akhir beriman dengan takdir beriman dengan Rasul dan Malaikat.
Kemudian Allah subhanahu wata’ala mengatakan ketika menyebutkan ayat tentang qishas
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ٱلۡحُرُّ بِٱلۡحُرِّ وَٱلۡعَبۡدُ بِٱلۡعَبۡدِ وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيۡءٞ فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ
[Al-Baqarah:178]
diwajibkan qishas maka barangsiapa yang dimaafkan oleh saudaranya, yang dimaafkan yang membunuh, yang memaafkan wali-wali dari yang dibunuh, Allah subhanahu wata’ala masih mengatakan itu adalah saudaranya
فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ
dua-duanya adalah bersaudara karena dua-duanya masih statusnya sebagai orang yang beriman
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ
[Al-Hujurat:10]
sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah ikhwah, berarti Allah subhanahu wata’ala masih mengakui pembunuhnya disini adalah seorang saudara masih seorang yang beriman, sehingga ahlussunnah mengatakan mereka adalah mukmin mereka adalah orang-orang yang beriman, tapi apakah mereka adalah orang yang sempurna keimanannya jawabannya tidak, dosa ini mempengaruhi iman sehingga mereka adalah mukmin yang naqishul iman, orang yang beriman tapi berkurang keimanannya, tidak sempurna keimanannya sebagaimana orang-orang yang sempurna keimanannya, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
لَا يزني الزَّانِى حِينَ يزني وَ هُوَ مُؤْمِنٌ
tidaklah berzina orang yang berzina ketika dia berzina dan dia dalam keadaan beriman (dalam keadaan sempurna keimanannya), pasti ketika berzina itu sedang berkurang keimananya, muraqabahnya kurang rasa takutnya terhadap hari akhir kurang rasa takutnya terhadap Allah subhanahu wata’ala kurang tapi rasa iman ada, itu dalil yang menunjukkan bahwasanya pelaku dosa besar ini mereka berkurang keimanannya dan mereka adalah orang yang beriman, ini Ahlussunnah Wal Jama’ah di dalam masalah أَسْمَاءِ الإِيمَانِ والدِّينِ nama-nama yang berkaitan dengan iman dan juga agama ini.
Kemudian
وَفِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَيْنَ الرَّافِضَةِ وَ الْخَوَارِجِ
Di dalam masalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mereka berada diantara orang-orang rawafidh dan antara orang-orang khawarij.
Rawafidh berasal dari kata رفَض yaitu menolak, mufrodnya adalah rafidhah, dinamakan demikian karena mereka menolak Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Zaid ini adalah termasuk ahlul bait yang firqoh zaidiyah menisbatkan diri mereka kepada Zaid ini. Ketika ditanya oleh orang-orang rafidhah bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar dan Umar, kita tahu bahwasanya orang-orang rafidhah mereka mengkafirkan Abu Bakar dan Umar menganggap bahwasanya Abu Bakar dan Umar berkhianat dan merampas kekhilafahan dari Ali Bin Abi Thalib, mereka ingin mendengar dari Zaid tentang kebencian dia terhadap Abu Bakar dan Umar yang telah merampas kekhilafahan kakeknya yaitu Ali bin Abi Thalib.
Beliau mengatakan mereka berdua ini adalah sebaik-baik menteri untuk kakek ku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), justru malah dipuji oleh Zaid bin Ali, setelah mendengar ucapan ini maka orang-orang tersebut mereka akhirnya menolak keimamahan Zaid bin Ali, karena menolak sehingga mereka dinamakan dengan rafidhah, mereka ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap ahlulbait termasuk diantaranya adalah berlebih-lebihan terhadap Ali Radhiallahu ta’ala ‘Anhu sehingga meyakini dengan keyakinan- keyakinan yang bathil, bahkan ada diantara mereka yang berlebihan meyakini bahwasanya Ali bin Abi Thalib adalah seorang Tuhan, ada di zaman Ali bin Abi Thalib dan sempat dibakar oleh Ali Bin Abi Thalib karena keyakinan mereka ini.
Dan mereka bertingkat-tingkat, ada yang sampai demikian keadaannya dan banyak diantara mereka yang meyakini bahwasanya Ali inilah yang berhak untuk menjadi khalifah bahkan mengkafirkan Abu Bakar dan Umar dan juga Utsman dan orang-orang yang ridha dengan kekhilafaan Abu Bakar dan Umar, ini berarti berlebihan terhadap Ali bin Abi Tholib dan ahlul bait.
Adapun orang-orang khawarij maka keyakinan mereka terhadap Ali bin Abi Thalib adalah mengkafirkan beliau, lihat yang satunya menuhankan meyakini bahwasanya beliau mengetahui ilmu yang ghaib meyakini bahwasanya beliau adalah afdhalunnas meyakini bahwasanya Jibril salah dalam menyampaikan wahyu harusnya kepada Ali tapi kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bandingkan dengan keyakinan khawarij yang merendahkan Ali bahkan mengkafirkan Ali Bin Abi Thalib dan yang membunuh Ali Bin Abi Thalib tidak lain adalah orang-orang khawarij.
Maka Ahlussunnah Wal Jama’ah berada di pertengahan, lihat bagaimana pertengahan Ahlussunnah Wal Jama’ah keyakinan mereka terhadap Ali dan juga keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kita meyakini bahwasanya Ali Bin Abi Thalib adalah termasuk Khulafaur Rasyidin, beliau adalah menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam anak paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang hebat, beliau memiliki keutamaan yang banyak, Allah subhanahu wata’ala mencintai beliau dan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mencintai beliau dan beliau pun mencintai Allah subhanahu wata’ala dan juga Rasul-Nya.
Ini adalah bantahan kepada orang-orang khawarij yang mereka meyakini tentang kekufuran Ali Bin Abi Thalib, beliau adalah termasuk Khulafaur Rasyidin yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ
عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Dan kita disuruh untuk berpegang teguh dengan sunnah mereka.
Dan keyakinan kita tentang Ali Bin Abi Thalib bahwasanya beliau adalah manusia biasa, beliau memiliki keutamaan tapi beliau adalah manusia biasa seperti para sahabat yang lain tapi beliau tidak ma’sum, utama tapi tidak ma’sum dan tidak mengetahui ilmu yang ghaib, dan Abu Bakar serta Umar tidak merampas kekhilafaan Ali bin Abi Thalib, kekhilafaan Abu Bakar As-Shiddiq sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Di akhir kehidupan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Beliau sakit siapa yang disuruh untuk menggantikan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi imam sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasrahkan urusan agama kepada Abu Bakar demikian pula Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memasrahkan urusan dunia ini kepada Abu Bakar sepeninggal Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh seorang wanita dan mengadukan tentang keadaannya kemudian Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan nanti kamu ke sini lagi, dia mengatakan kalau aku tidak menemukan dirimu Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan hendaklah engkau mendatangi Abu Bakar. Dan sepakat kaum Muhajirin dan Anshor untuk mengangkat Abu Bakar As-Siddiq sebagai khalifah setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, beliau termasuk yang membaiat Abu Bakar As-Siddiq.
Kalau mereka mengingkari atau mengatakan dia membaiat karena dia takut misalnya, ada dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama dia takut artinya dia membaiat karena takut, padahal mereka mengatakan bahwasanya Ali adalah orang yang paling berani, kenapa dia takut? Atau kemungkinan dia dusta, kalau dusta berarti ini adalah celaan kepada Ali Bin Abi Thalib, maka ini adalah keyakinan mereka tentang Ali bin Abi Thalib.
Adapun Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maka meyakini beliau adalah Khulafaur Rasyidin, termasuk afdhalus sahabah tapi kita tidak meyakini bahwasanya beliau adalah ma’sum atau mengetahui ilmu yang ghaib.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top